KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF DAN PENDEKATAN PROBLEM POSING (PENGAJUAN MASALAH) PADA SISWA
1.
BERPIKIR KREATIF
Berpikir kreatif menurut Krulik dan Rudnick (1999
:halaman???) berada dalam tingkatan tertinggi berpikir secara nalar yang
tingkatannya berada di atas mengingat (recall
thinking), berpikir dasar (basic
thinking), dan berpikir kritis (critical
thinking). Menurut Pehnoken (Ali, 2010: 3), kreativitas tidak
hanya terjadi pada
bidang-bidang tertentu, seperti
seni, sastra, atau sains,
melainkan juga ditemukan dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk matematika.
Pembahasan mengenai kreativitas
dalam matematika lebih ditekankan pada prosesnya, yakni
proses berpikir kreatif.
Oleh karena itu, kreativitas
dalam matematika lebih tepat diistilahkan sebagai berpikir
kreatif matematis. Pentingnya berpikir kreatif dalam matematika
dinyatakan oleh Bishop (Ali, 2010 :3) yang menyatakan bahwa seseorang
memerlukan dua keterampilan
berpikir matematis, yaitu
berpikir kreatif yang
sering diidentikkan dengan intuisi
dan kemampuan berpikir analitik yang diidentikkan dengan kemampuan berpikir
logis.
2.
MASALAH
Menurut Henderson dan Pingry (Gonzales, 1998 : 448) terdapat
dua konsep umum dari masalah. Pertama, masalah dilihat sebagai sebuah
pertanyaan yang mengacu pada jawaban. Kedua, masalah tidak hanya dimaksudkan
untuk mencari jawaban tapi lebih pada kesesuaian masalah yang diajukan terhadap
individunya. Konsep masalah yang kedua inilah yang lebih cocok di dalam
pendidikan sekolah. Jadi, masalah yang diajukan pada siswa SMP mungkin bukan
merupakan masalah bagi siswa di SMA.
Menurut Cooney, et. al. (Fadjar Shadiq , 2004: 10) bahwa suatu pertanyaan
akan menjadi masalah jika pertanyaan tersebut memberikan tantangan yang tidak
dapat dipecahkan dengan langkah-langkah atau prosedur rutin yang sudah
diketahui. Pendapat Cooney
sama dengan pendapat Schoenfeld (Bitman dan Clara: 2), yaitu bahwa definisi
masalah selalu relatif bagi setiap individu. Kategori pertanyaan menjadi
masalah atau pertanyaan hanyalah pertanyaan biasa ditentukan oleh ada atau
tidaknya tantangan serta belum diketahuinya prosedur rutin pada pertanyaan
tersebut. Sedangkan menurut Polya (1973: 5) meskipun masalah itu sederhana, akan
tetapi jika dapat menumbuhkan rasa ingin tahu yang tinggi dan kemampuan untuk
berpikir kreatif maka dia bisa disebut sebagai masalah. Begitu juga yang dikemukakan oleh Posamentier and Krulik
(1998: 1) tentang pengertian masalah.
“A problem is a
situation that confronts a person, that requires resolution, and for which the
path to the solution is not immediately known.”
Berdasarkan
pendapat-pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa masalah adalah
pertanyaan yang menantang, mampu meningkatkan kreativitas individu, dan dapat
diselesaikan dengan menggunakan prosedur yang sudah diketahui.
3.
PENGAJUAN MASALAH (PROBLEM POSING)
Terdapat beberapa pengertian mengenai problem posing. Menurut Ellerton (Ali,
2011: 4) problem posing adalah
pembuatan soal oleh siswa yang dapat mereka pikirkan tanpa pembatasan apapun
baik terkait isi maupun konteksnya. Menurut Tatag (2004 :75) pengajuan masalah
(problem posing) dalam pembelajaran
intinya meminta siswa untuk mengajukan soal atau masalah. Menurut Silver (Ali,
2011 : 4) terdapat beberapa pengertian problem
posing, yaitu (1) perumusan ulang soal yang telah diberikan dengan beberapa
perubahan agar lebih mudah dipahami siswa, (2) perumusan soal yang berkaitan
dengan syarat-syarat pada soal yang telah diselesaikan dalam rangka penemuan
alternatif penyelesaian, dan (3) pembuatan soal dari suatu situasi yang
diberikan. Menurut Brown dan Walter (Yuan, 2009 :26) pengajuan masalah dapat membantu siswa untuk lebih memahami topik
yang biasa dijumpai akan tetapi dengan pemahaman yang lebih mendapat. Brown dan
Walter juga menyatakan bahwa problem
posing dapat memunculkan ide kreasi yang baru berdasarkan pada topik yang
diberikan.
Dari pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan
bahwa problem posing adalah pengajuan
pertanyaan oleh siswa, baik perumusan ulang soal, perumusan soal yang berkaitan
dengan syarat-syarat pada soal yang telah diselesaikan untuk mencari
alternative jawaban, dan pembuatan soal dari situasi yang diberikan, yang mampu
memunculkan ide kreasi baru siswa terhadap topik yang diberikan.
Silver (Tatag,2004: 75) mengklasifikasikan tiga
aktivitas kognitif dalam pembuatan soal, yaitu:
a. Pengajuan
pre-solusi (presolution posing) yaitu
seorang siswa membuat soal dari situasi yang diakan
b. Pengajuan
di dalam solusi (within-solution posing)
yaitu seorang siswa merumuskan ulang soal seperti yang telah diselesaikan
c. Penegajuan
setelah solusi (post solution posing)
yaitu seorang memodifikasi tujuan atau kondisi soal yang sudah diselesaikan
untuk membuat soal yang baru.
4.
KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF DAN PENDEKATAN PROBLEM POSING
Menurut Tatag (2004 :76) pengajuan masalah
juga merupakan tugas
kegiatan yang mengarah
pada sikap kritis dan
kreatif. Sebab dalam
pengajuan masalah siswa
diminta untuk membuat pertanyaan dari
informasi yang diberikan.
Selain itu, dengan
pengajuan masalah siswa
diberi kesempatan aktif secara mental, fisik, dan sosial serta
memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyelidiki dan juga membuat jawaban-jawaban
yang divergen.
Beberapa
ahli telah mengembangkan
instrumen untuk mengukur kemampuan berpikir kreatif
matematis, seperti Balka dan Torrance (Ali, 2010 : 4). Balka mengembangkan
instrumen Creative Ability Mathematical
Test (CAMT) dan Torrance
mengembangkan instrumen Torrance Tests
of Creative Thinking (TTCT). Kedua instrumen ini
berupa tugas membuat soal matematika berdasarkan informasi yang
terdapat pada soal
terkait situasi sehari-hari
yang diberikan. Jensen (Ali, 2010 : 4) mengukur
kemampuan berpikir kreatif
matematis dengan memberikan tugas
membuat sejumlah pertanyaan
atau pernyataan berdasarkan informasi pada
soal-soal yang diberikan.
Soal-soal yang diberikan
tersebut disajikan dalam bentuk narasi, grafik, atau diagram.
Ketiga cara pengukuran kemampuan berpikir kreatif di
atas sering juga disebut sebagai tugas problem
posing. Menurut Ali (2010: 4) tes
ini mengukur tiga aspek
kemampuan berpikir kreatif
matematis, yaitu kelancaran,
keluwesan, dan kebaruan.
Aspek kelancaran berkaitan
dengan banyaknya pertanyaan
relevan. Aspek keluwesan berkaitan
dengan banyaknya ragam
atau jenis pertanyaan. Sedangkan aspek kebaruan
berkaitan dengan keunikan atau seberapa jarang suatu jenis pertanyaan.
Contoh kegiatan yang dapat dilakukan guru untuk
meningkatkan kemampuan berpikir kreatif berdasarkan pendekatan problem posing adalah ketika di kelas
guru mengajukan masalah yang
penyelesaiannya sudah diketahui
siswa. Guru sering mengajukan masalah yang berbeda dengan
buku pegangan siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Akan tetapi yang menjadi pertanyaan saat ini adalah,
“Apakah tugas problem
posing dari guru memang sebuah cara
yang mampu mengembangkan kemampuan berpikir kreatif siswa?” Penelitian yang
dilakukan Siswono (Tatag, 2004: 82) terhadap
siswa kelas II
MTs N Rungkut Surabaya
menunjukkan bahwa siswa dengan tingkat kemampuan yang berbeda (rendah, sedang
dan tinggi) menunjukkan
pola berpikir yang
tidak sama dalam mengajukan soal.
Kelompok tinggi lebih
cermat dan terencana,
sedangkan kelompok sedang dan
rendah kurang atau tidak cermat dan terencana. Tetapi umumnya siswa sudah
mempunyai pengetahuan bagaimana
mengajukan soal sesuai
dengan permintaan tugas yang diberikan guru. Siswa cenderung
membuat soal dengan pola yang sama agar dapat dipecahkan dan sesuai dengan
permintaan tugas. Hasil ini tampaknya tidak menunjukkan pemikiran kreatif
dalam membuat soal.
Hal tersebut kemungkinan
karena dalam informasi tugas
yang diberikan hanya
berupa teks, sehingga
tidak menggerakkan imajinasi siswa
untuk berpikir kreatif.
Imajinasi merupakan suatu
kemampuan untuk
membayangkan, melihat potensi,
dan menciptakan sesuatu
dengan pikiran. Agar
mendorong pemikiran kreatif
atau imajinasi siswa,
maka informasi tugas
dapat diberikan dalam bentuk
gambar, karena gambar
dapat memiliki banyak
arti tergantung pada persepsi
dan penafsiran siapa
yang melihatnya. Kemungkinan
lain, karena permintaan tugas
belum mengarah dan mendorong penggunaan pemikiran kreatif siswa. Siswa hanya
diminta membuat soal berdasar informasiyang ada dan menyelesaikan soal yang
telah dibuat. Dengan demikian siswa hanya dituntut untuk sekedar menyelesaikan
tugas. Dalam penelitian perlu perintah membuat soal/masalah sebanyak mungkin
dengan variasi penyelesaian yang beragam, dan kompleksitasyang semakin tinggi.
Selain
itu, karena di
kelas siswa mempunyai
latar belakang yang
berbeda-beda dan pembawaan yang
berbeda-beda, maka tidak
mustahil mereka memiliki
tingkat berpikir kreatif yang
berbeda pula. Untuk
itu diperlukan suatu
tingkatan yang membedakan
kemampuan berpikir kreatif mereka. Tingkatan tersebut akan berguna bagi
perancangan langkah-langkah pembelajaran untuk mendorong dan meningkatkan
berpikir kreatif siswa
PENUTUP
Salah satu cara mengukur
kemampuan berpikir kreatif adalah dengan menggunakan metode problem posing, yaitu pembuatan soal, pertanyaan,
atau pernyataan terkait soal atau situasi matematis tertentu. “Pembuatan sebuah
masalah” yang merupakan ciri pengajuan masalah dan sifat “membawa menjadi ada”
yang merupakan sifat kreativitas memungkinkan untuk
memandang bahwa pengajuan masalah merupakan suatu bentuk kreativitas yang dapat mendorong berpikir kreatif.
Dalam pembelajaran, siswa yang berasal dari
lingkungan dan latar belakang yang berbeda akan mempunyai tingkatan berpikir
kreatif yang berbeda pula. Sehingga diperlukan pembagian tingkatan yang
membedakan siswa tersebut. Pembagian tersebut akan bermanfaat dalam menilai maupun
mengukur tingkat berpikir kreatif siswa dalam suatu pembelajaran di kelas.
DAFTAR PUSTAKA
Ali
Mahmudi. (2010). Mengukur Kemampuan
Berpikir Kreatif Matematis. Makalah. Manado: Konferensi
Nasional Pendidikan Matematika XV
Ali
Mahmudi. (2011). Problem Posing untuk
Menilai Hasil Belajar Matematika. Makalah. Yogyakarta : Seminar Nasional
Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY
Bitman Simanullang dan Clara Ika S B. Pemecahan Masalah Matematika. Diakses
dari http://pjjpgsd.dikti.go.id/file.php/1/repository/dikti/Mata%20Kuliah%20Awal/Pemecahan%20Masalah%20Matematika/BAC/unit9_konsep_dasar_pemecahan_masalah_matematika_coverbelakang.pdf pada tanggal 12 Januari 2013, Jam 20.39 WIB.
Fajar Shadiq. (2004). Pemecahan
Masalah, Penalaran dan Komunikasi. Yogyakarta: Departemen Pendidikan
Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Pusat Pengembangan
Penataran Guru (PPPG) Matematika. Disampaikan pada Diklat Instruktur/Pengembang
Matematika SMA Jenjang Dasar Tanggal 6 s.d. 19 Agustus 2004 di PPPG Matematika.
Gonzales,
Nancy A. (1998). A Blueprint For Problem
Posing. Journal of School Science and Mathematics; Dec 1998; 98, 8;
ProQuest Research Library pg. 448
Krulik, S & Rudnick. 1999. Innovative Tasks to Improve Critical- and Creative-Thinking Skills.
Developing Mathematical Reasoning in Grades K-12 , pp. 138-145.
Polya, G. (1973). How to Solve It: A New Aspect of
Mathematical Method, 3rd ed. Princeton, New Jersey: Princeton
University Press.
Posamentier & Krulik. (1998). Problem Solving Strategies for Efficient and Elegant Solutions. California:
Corwin Press, Inc (A Sage Publications Company).
Tatag
Yuli Eko Siswono. (2004). Mendorong
Berpikir Kreatif Siswa Melalui Pengajuan Masalah (Problem Posing). Makalah.
Denpasar : Konferensi Nasional Matematika XII, Universitas Udayana
Yuan,
Xianwei. (2009). An Exploratory Study Of
High School Students' Creativity And
Mathematical Problem Posining China And The United States. Disertasi. Illinois State University
No comments:
Post a Comment