MINAT DAN PEMAHAMAN
KONSEP MATEMATIKA SISWA DENGAN PENGGUNAAN LKS BERBASIS PROBLEM SOLVING MELALUI
PEMBELAJARAN KOOPERATIF
A.
Sintesis Jurnal
tentang Cooperative Learning
Judul jurnal: Promoting Cooperative Learning in Science and Mathematics
Education: A Malaysian Perspective ditulis oleh Effandi Zakaria dan Zanaton Iksan,
dari Eurasia Journal of Mathematics, Science & Technology Education, 2007,
3(1), 35-39.
1.
Abstrak
Tujuan
dari artikel ini adalah untuk membahas kekurangan pada saat ini
dalam bidang
pendidikan sains
dan matematika di Malaysia. Penggunaan pembelajaran kooperatif sebagai alternatif metode
tradisional sudah ditekankan.
Pembelajaran kooperatif didasarkan pada
keyakinan bahwa belajar paling efektif ketika siswa secara aktif terlibat dalam berbagi ide-ide dan
bekerja secara
kooperatif
untuk menyelesaikan tugas-tugas akademik. Artikel ini juga
akan fokus pada studi pilihan yang
dilakukan secara lokal
dan hasil pendidikan yang diharapkan oleh
mereka. Sebuah
tantangan
terkait
dengan
menerapkan
pembelajaran kooperatif juga dibahas.
2.
Pengantar
Kualitas pendidikan
yang para guru sediakan untuk siswa sangat tergantung
pada apa yang dilakukan guru di dalam kelas. Dengan demikian, dalam mempersiapkan siswa
hari ini untuk menjadi orang sukses kelak,
guru ilmu pengetahuan dan guru matematika
perlu memastikan bahwa mereka mengajar efektif. Guru harus memiliki pengetahuan
tentang bagaimana siswa belajar sains
dan matematika dan bagaimana cara
terbaik untuk mengajar. Mengubah cara kita
mengajar dan apa yang kita ajarkan dalam sains dan matematika adalah suatu keterkaiatan profesional yang berkelanjutan. Segala upaya harus segera diambil sekarang untuk mengarahkan
presentasi pelajaran sains dan
matematika jauh dari metode tradisional menjadi lebih kepada pendekatan yang berpusat pada siswa (student centered).
Kurikulum sains untuk
sekolah menengah telah dirancang untuk menyediakan
para siswa dengan pengetahuan dan keterampilan dalam sains, mengembangkan keterampilan
berpikir dan strategi yang
memungkinkan mereka untuk memecahkan masalah dan membuat keputusan dalam
kehidupan sehari-hari (Departemen Pendidikan Malaysia, 2002). Dalam matematika,
kurikulum menyediakan
siswa pengetahuan dan keterampilan matematika dan mengembangkan pemecahan
masalah dan keterampilan pengambilan keputusan untuk penggunaan sehari-hari
(Departemen Pendidikan, 2003). Baik
kurikulum sains dan matematika maupun mata pelajaran lainnya dalam kurikulum
sekolah menengah juga berusaha untuk menanamkan nilai-nilai luhur dan cinta pada negara.
Dua keterbatasan
pedagogis telah diidentifikasi sebagai kekurangan utama dalam pendidikan menengah tradisional: pengajaran berbasis ceramah dan pengajaran berpusat
pada guru. Pengajaran
berbasis ceramah
menekankan perolehan pengetahuan secara pasif. Dalam lingkungan seperti itu, siswa menjadi penerima
pengetahuan yang pasif
dan terpaksa
untuk belajar hafalan. Sebagian besar dari pekerjaan melibatkan pembicaraan guru baik menggunakan
teknik ceramah
atau pertanyaan sederhana dan jawaban yang menuntut mengingat kembali dasar pengetahuan dari
peserta didik. Pengajaran
berbasis ceramah
mendominasi aktivitas kelas dengan guru memberikan lebih dari 80% dari
pembicaraan di dalam
ruang kelas. Umumnya, hanya jawaban yang benar yang diterima oleh guru dan jawaban
yang tidak benar dengan mudah hanya
diabaikan. Siswa jarang bertanya atau bertukar
pikiran
dengan siswa lain di kelas tersebut. Kelas
tradisional juga ditandai dengan demonstrasi langsung dan kegiatan untuk memverifikasi
konsep yang sudah diperkenalkan
sebelumnya. Oleh karena itu pengajaran bukan untuk pemahaman
konseptual melainkan untuk menghafal dan mengingat fakta. Harus dicatat bahwa siswa yang
mengembangkan pemahaman konseptual di
awal
akan melakukan yang terbaik pada pengetahuan
prosedural nantinya
(Grouws & Cebulla, 2000). Selanjutnya, siswa
dengan pemahaman konseptual yang
baik
dapat melakukan dengan sukses pada neartransfer tugas dan mengembangkan
prosedur dan keterampilan mereka meskipun
belum
diajarkan.
Dalam pendidikan tradisional
berpusat pada guru, dominasi guru mengambil pusat kelas. Siswa mengandalkan guru mereka untuk
memutuskan apa, kapan, dan bagaimana
cara
belajar. Pendekatan ini bagi
pengajaran bekerja relatif baik. Namun, tidak jelas bahwa
siswa belajar di, tingkat yang lebih tinggi,yaitu level berpikir konseptual.
3.
Kebutuhan untuk Memperbaiki
Dunia menjadi semakin "kecil". Gerakan di salah satu bagian dari dunia
mengerahkan pengaruh kuat pada bagian lain dari dunia. Ada keterlibatan yang
lebih dari masyarakat dan individu dari berbagai bagian dunia. Pertumbuhan ilmu
pengetahuan dan teknologi adalah luar biasa. Kekuatan ini tidak mungkin untuk dicegah dan mereka memberikan tantangan
dan peluang bagi orang-orang di bidang
pendidikan sains dan matematika. Pendidikan hari
ini harus memungkinkan siswa untuk memenuhi tantangan di masa depan dan tuntutan lingkungan kerja
dan kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian, siswa tidak hanya membutuhkan pengetahuan tetapi juga
kemampuan komunikasi, kemampuan memecahkan masalah, kreatif dan keterampilan
berpikir kritis dalam tahun-tahun mendatang. Sebuah Asosiasi Amerika untuk
Kemajuan Ilmu Pengetahuan (1989: 148) melaporkan bahwa:
"hakikat kolaboratif pada kerja ilmiah dan teknologi
harus secara kuat
diperkuat oleh seringnya aktivitas
kelompok di dalam kelas. Para ilmuwan dan insinyur bekerja sebagian besar di dalam kelompok-kelompok dan kurang sering terisolasi oleh peneliti. Demikian pula, siswa seharusnya memperoleh pengalaman berbagi tanggung
jawab untuk belajar dengan
satu sama lain ".
Kegiatan yang biasanya ditemui di kelas sains, seperti
dilansir oleh guru
sains yang ceramah
guru (25%), praktek siswa dengan
panduan guru
(19%) dan siswa mengerjakan
masalah secara sendiri
(11%) dan pekerjaan rumah (13%) (Martin et al. 2004). Dalam matematika, 64%
guru melaporkan bahwa mereka menggunakan buku sebagai dasar utama dari
pelajaran mereka. Tiga terbesar
kegiatan dominan di kelas matematika adalah guru
ceramah,
latihan siswa dengan dipandu oleh
guru dan siswa mengerjakan
masalah secara sendiri,
perhitungan untuk 58% dari waktu jam pelajaran. Kegiatan lainnya
adalah meninjau pekerjaan rumah, mengajarkan kembali dan menjelaskan isi, melaksanakan tes dan kuis dan berpartisipasi
dalam tugas manajemen kelas
yang tidak berhubungan dengan materi
pelajaran
(Mullis et al. 2004).
4.
Pembelajaran Kooperatif: Sebuah Alternatif untuk
Metode Tradisional
Tantangan dalam
pendidikan saat ini adalah untuk secara efektif mengajar siswa-siswa dari beragam kemampuan dan tingkat
yang berbeda dalam belajar.
Guru diharapkan untuk mengajar dengan cara yang memungkinkan siswa untuk
belajar konsep sains
dan matematika saat proses memperoleh
keterampilan, sikap positif
dan nilai-nilai serta
keterampilan pemecahan masalah. Berbagai strategi pengajaran telah dianjurkan
untuk digunakan dalam kelas sains
dan matematika, mulai dari pendekatan
yang berpusat pada guru menjadi
lebih kepada berpusat pada
siswa. Dalam dekade terakhir, ada sejumlah besar penelitian dilakukan pada pembelajaran
kooperatif dalam sains
dan matematika. Pembelajaran kooperatif didasarkan pada keyakinan bahwa belajar
adalah paling efektif ketika siswa secara
aktif
terlibat dalam berbagi ide dan bekerja secara kooperatif untuk menyelesaikan tugas-tugas akademik.
Pembelajaran kooperatif telah digunakan baik sebagai
metode pembelajaran maupun
sebagai sarana belajar di berbagai tingkat pendidikan dan di berbagai bidang
studi. Johnson, Johnson dan Holubec (1994)
mengusulkan lima elemen penting dari pembelajaran kooperatif:
(a)
saling ketergantungan positif:
Keberhasilan satu peserta didik tergantung pada keberhasilan peserta didik lainnya.
(b)
interaksi promotif: Individu dapat
mencapai interaksi promotif dengan membantu satu sama lain, bertukar sumber,
menantang suatu kesimpulan
satu sama yang lain, memberikan umpan balik, mendorong dan berjuang untuk
saling menguntungkan.
(c)
akuntabilitas individual: Guru harus
menilai jumlah usaha bahwa
masing-masing anggota mempunyi kontribusi.
Hal ini dapat dilakukan dengan
memberikan tes
individu untuk setiap siswa dan secara acak memanggil siswa untuk
mempresentasikan karya dari kelompok
mereka.
(d)
keterampilan interpersonal dan kelompok kecil: Guru
harus memberikan kesempatan bagi anggota kelompok untuk mengenal satu sama
lain, menerima dan saling mendukung lainnya, berkomunikasi secara akurat dan
menyelesaikan perbedaan secara
konstruktif.
(e)
pengolahan grup: Guru juga harus memberikan peluang
untuk kelas untuk menilai kemajuan kelompok.
Pengolahan kelompok memungkinkan kelompok untuk fokus pada hubungan kerja yang
baik, memfasilitasi keterampilan
pembelajaran kooperatif dan memastikan bahwa setiap anggota menerima umpan balik.
Pada dasarnya,
pembelajaran kooperatif, merupakan pergeseran paradigma pendidikan dari pendkatan berusat pada guru menjadi pembelajaran yang lebih banyak berpusat
pada siswa di dalam
kelompok-kelompok kecil.
Hal ini menciptakan peluang bagus bagi
siswa untuk terlibat dalam pemecahan masalah dengan bantuan anggota kelompok mereka (Effandi, 2005).
Di
Malaysia, penelitian tentang pembelajaran kooperatif telah dilakukan sejak
tahun 1990-an (Nor Azizah & Chong, 2000). Revisi kurikulum sekolah dasar dan menengah
menekankan pada penggunaan
pembelajaran kooperatif
sebagai alternatif dari
metode pengajaran
tradisional. (Kementerian Pendidikan Malaysia, 2001). Pembelajaran kooperatif
secara umum dipahami sebagai pembelajaran yang terjadi dalam kelompok-kelompok
kecil di mana siswa berbagi ide dan bekerja sama untuk menyelesaikan tugas yang
diberikan. Ada beberapa variasi
model
pembelajaran kooperatif (Slavin, 1995), sebagai contoh dalam STAD (Student Teams-Achievement
Divisi), siswa dikelompokkan menurut
kemampuan, jenis kelamin dan etnis
yang beragam. Guru
menjelaskan materi dengan cara yang sama seperti biasanya, kemudian siswa
bekerja dalam kelompok mereka untuk memastikan mereka semua menguasai materi pelajaran. Di akhir pelajaran, semua siswa melaksanakan kuis secara individu. Siswa mendapatkan poin
tim berdasarkan seberapa baik mereka memperoleh nilai pada kuis yang dibandingkan dengan hasil/prestasi sebelumnya. Tidak seperti
STAD, dalam TGT
(Tim-Games- Turnamen) kuis diganti dengan turnamen. Siswa bersaing di meja turnamen melawan siswa dari tim lain yang sama
dengan mereka dalam hal pencapaian
hasil sebelumnya. Siswa mendapatkan poin tim berdasarkan
seberapa baik yang mereka
lakukan di meja turnamennya.
Di JIGSAW, siswa bertanggung jawab untuk mengajarkan materi satu sama lain. Tugas dibagi
menjadi beberapa kelompok
ahli, dan setiap siswa ditugaskan dengan
satu kelompok.
Para ahli dari kelompok-kelompok yang berbeda bertemu bersama-sama dan mendiskusikan daerah ahli
mereka. Para siswa
kemudian kembali ke kelompok mereka
dan mengajar bergiliran.
Pembelajaran kooperatif
menciptakan banyak peluang belajar
yang tidak biasanya terjadi di tradisional ruang kelas. Menurut Nor Azizah
(1996), pembelajaran kooperatif memiliki potensi dalam kelas sains karena faktor-faktor berikut: (a)
siswa sains
selalu bekerja dalam kelompok selama eksperimen di laboratorium karena itu apa
yang mereka butuhkan adalah keterampilan untuk bekerja dalam kelompok (b)
laboratorium sains luas
dengan meja dan kursi yang utuh.
(c) kelas sains biasanya dua periode yang masing-masing waktunya 40 menit, cukup waktu untuk pembelajaran kooperatif
dan (d) selama experimen
banyak nilai-nilai dapat ditanamkan misal
kebersihan, dapat
dipercaya dll.
Siti Rahayah (1998) lebih lanjut menyatakan bahwa guru sains perlu mencoba
pembelajaran kooperatif untuk
meningkatkan keterampilan ilmiah dan untuk meningkatkan prestasi di bidang
sains.
5.
Hasil Pendidikan yang Diharapkan dari Pembelajaran
Kooperatif
Pusat tujuan
pembelajaran kooperatif dalam pendidikan
sains
dan matematika adalah peningkatan prestasi, keterampilan pemecahan masalah,
sikap dan menanamkan nilai-nilai. Bagaimana pembelajaran
kooperatif mempengaruhi prestasi siswa dan kemampuan memecahkan masalah telah diselidiki oleh Effandi (2003).
Penelitian ini membandingkan kelompok utuh prestasi matematika dan keterampilan
pemecahan masalah siswa.
Kelompok eksperimen diajarkan menggunakan metode pembelajaran
kooperatif dan kelompok
kontrol diajarkan
menggunakan metode ceramah tradisional.
Pengajaran kelompok kooperatif menunjukkan hasil signifikan lebih baik dalam
prestasi matematika dan keterampilan pemecahan masalah. Ukuran pengaruhnya sedang dan praktis pasti bermakna.
Ia juga menemukan bahwa siswa dalam kelompok pembelajaran kooperatif memiliki tanggapan menguntungkan terhadap kerja
kelompok. Dia menyimpulkan bahwa pemanfaatan metode pembelajaran kooperatif
adalah alternatif lebih baik daripada
metode pembelajaran tradisional. Studi
lain oleh Lee Guak Eam (1999), menggunakan TGT dan STAD sebagai model menemukan
bahwa siswa yang diajarkan dengan struktur kooperatif mengungguli siswa dengan struktur tujuan individualistik di
pemecahan masalah matematika. Peneliti lain memiliki temuan serupa yang mengarah ke prestasi manfaat
menggunakan pembelajaran kooperatif (Faizah, 1999; Yee, 1995).
Terlepas dari prestasi
dan pemecahan masalah, siswa juga harus ditanamkan dengan sikap dan nilai-nilai
yang sesuai dengan kehidupan mereka sebagai seorang siswa. Baik Azizah dkk. (1996), dalam
penelitian mereka melibatkan 966 murid dan menggunakan metode STAD dan Jigsaw II, menemukan
bahwa pembelajaran kooperatif dapat menanamkan nilai-nilai seperti kebebasan, cinta dan kebersihan. Penelitian
serupa yang dilakukan oleh Siti Rahaya (1998) menggunakan STAD / Jigsaw sebagai
model yang melibatkan 1.180 siswa dari 18 sekolah, menyimpulkan bahwa
nilai-nilai tentang
saling ketergantungan, rasional,cinta dan
kerja keras yang mencolok ditanamkan. Juga ditemukan bahwa pembelajaran kooperatif dapat
meningkatkan keterampilan ilmiah, mempromosikan pembelajaran penyelidikan dan
meningkatkan prestasi sains. Para siswa ditemukan menikmati belajar dalam
kelompok. Menurut Nor Azizah dan Chong (2000), hasil dari dua studi bervariasi
karena perbedaan latar belakang sekolah dan jenis siswa di sekolah
masing-masing.
Sikap juga telah
menjadi fokus dari lebih dari satu studi
tentang pembelajaran kooperatif. Sebuah
studi yang dilakukan oleh Abdul Halim (2000) menemukan bahwa siswa di kelompok
eksperimen membangun
sikap positif terhadap ilmu
pengetahuan (sains). Zainun (2001) meneliti efek dari
pembelajaran kooperatif menggunakan STAD sebagai model. Hasil menunjukkan sikap
positif terhadap matematika. Kebanyakan
siswa
juga memiliki persepsi positif terhadap STAD. Penelitian lain yang dilakukan
oleh Mazlan (2002) menemukan bahwa siswa dalam kelompok eksperimen membangun sikap positif terhadap matematika. Namun, sebuah
penetian oleh Meriam Ismail (2000),
menggunakan TGT (Teams Permainan Turnamen) menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan sikap
yang signifikan terhadap
matematika antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Periode treatmen yang singkat yaitu
3 ½ minggu mungkin menjadi alasan yang mungkin untuk tidak ada perbedaan yang
signifikan antara kedua kelompok.
6.
Tantangan
Menggabungkan
pembelajaran kooperatif dalam kelas
ilmu
pengetahuan (sains) dan
matematika bukan tanpa tantangan. Awalnya, guru dan siswa harus menghadapi
berbagai tantangan. Masalah utama yang timbul sebagai
berikut:
• Perlu
untuk mempersiapkan bahan tambahan untuk penggunaan kelas
Kebutuhan
untuk menyiapkan bahan memerlukan banyak pekerjaan oleh guru, oleh karena itu,
beban bagi mereka untuk menyiapkan bahan-bahan baru.
• Takut
kehilangan cakupan konten
Metode
pembelajaran kooperatif sering mengambil waktu lebih lama daripada ceramah. Guru menyimpulkan bahwa
itu adalah buang-buang waktu.
• Tidak percaya siswa dalam memperoleh
pengetahuan dengan dirisendiri
Guru
berpikir mereka harus memberitahu siswa mereka apa dan cara belajar. Hanya guru
memiliki pengetahuan dan keahlian.
• Tidak
memiliki keakraban dengan metode pembelajaran kooperatif
Pembelajaran
kooperatif adalah hal baru
untuk beberapa guru sehingga mereka perlu waktu untuk membiasakan diri dengan
metode baru.
• Siswa
tidak memiliki keterampilan untuk bekerja dalam kelompok
Para
guru sering prihatin dengan partisipasi siswa
dalam kegiatan kelompok. Mereka berpikir bahwa siswa tidak memiliki
keterampilan yang diperlukan untuk bekerja dalam kelompok. Namun, menurut Ong dan
Yeam (2000) guru harus mengajarkan keterampilan yang hilang dan / atau review
dan memperkuat keterampilan yang diperlukan siswa.
7.
Kesimpulan
Perubahan diperlukan
dalam pengajaran sains dan matematika. Guru harus memberikan sedikit penekanan
pada perolehan informasi
oleh siswa, menyajikan pengetahuan
ilmiah dan matematika melalui ceramah,
meminta untuk membacakan
kembali
pengetahuan yang diperoleh dan bekerja sendirian. Penekanan yang lebih harus diberikan pada
pemahaman siswa tentang konsep tertentu, membimbing siswa
dalam pembelajaran aktif, memberikan kesempatan untuk diskusi dan elaborasi dan
mendorong mereka untuk bekerja dengan rekan-rekan dan guru. Dalam perkembangan
terakhir, Pemerintah telah memperkenalkan penggunaan bahasa Inggris sebagai pengantar
dalam sains dan matematika. Langkah ini akan memberikan siswa kesempatan
untuk tetap sejajar
dengan pesatnya perkembangan pengetahuan di dunia sains, matematika dan teknologi. Usaha kolaboratif dengan siswa dari negara lain
sekarang sangat mungkin
dan harus didukung.
B.
Problem Solving
Judul
jurnal: Interesting and
difficult mathematical problems: changing teachers’ views by employing
multiple-solution tasks,
oleh Raisa Guberman dan Roza Leikin, dari Journal Mathematics Teacher Education
(2013), 16, 33-56.
1.
Abstrak
Penelitian ini megingat bahwa problem solving berada di jantung pengajaran dan pembelajaran matematika, sementara
tantangan matematika adalah
sebuah elemen inti dari setiap proses pendidikan.
Desain penelitian membahas kompleksitas pengetahuan guru. Hal itu bertujuan untuk menggali perkembangan konsepsi matematika dan pedagogis guru terkait dengan kerja yang
sistematis tentang soal
multi penyelesaian
(MSTS) dalam kuliah '' pemecahan masalah ''
untuk calon guru matematika (PMTS). Perhatian kita pada konsepsi matematika guru fokus pada perkembangan kompetensi problem solving PMTS. Perhatian kita untuk konsepsi meta-matematika dan pedagogis guru difokuskan pada perubahan pandangan
guru mengenai tingkat
minat dan tingkat kesulitan soal matematika. Kami telah membedakan antara mode sistematis dan keahlian perkembangan profesional yang terintegrasi
dalam mata kuliah.
Modus sistematis meliputi
sesi problem solving
dan diskusi reflektif pada ruang solusi secara kolektif. Modus keahlian meliputi wawancara pada siswa sekolah. Penelitian ini menunjukkan keefektivan dari MSTS untuk perkembangan profesional PMTS.
2.
Pengantar
Penelitian yang dipaparkan dalam karya ilmiah ini terinspirasi oleh
tiga pengamatan utama: Pertama, kita menganggap bahwa pemecahan masalah matematika berada di
jantung pengajaran dan pembelajaran matematika (Charles
dan Lester 1982; Polya 1973; Schoenfeld 1983; Silver 1987). Setelah sebelumnya
penelitian yang menunjukkan bahwa memecahkan masalah dalam berbagai cara adalah
alat yang efektif untuk pengembangan profesional guru matematika, kita telah memasukkan soal multi penyelesaian (MST) di dalam mata kuliah, yang kita rancang
khusus untuk keperluan penelitian saat
ini (Leikin dan Levav-Waynberg 2008, 2009).
Kedua, kami menganggap tantangan matematika menjadi
elemen inti dari setiap proses
pendidikan dan menerima posisi bahwa
peran utama guru dalam kelas adalah peralihan yang baik-yaitu, tantangan-masalah pada siswanya (Brousseau 1997). Menurut Leikin (2009), kita mendefinisikan
tantangan sebagai '' kesulitan yang
menarik,
'' yang mana pelajar
diminta
untuk mengatasi dan yang ia dekati dengan motivasi. Pada gilirannya, ketika
memilih masalah, guru harus mengevaluasi kesesuaian tugas baik dengan kurikulum sebagai kesesuaian
untuk kelas
tertentu, maupun dari
sudut pandang kesulitan dan minat
siswa. Dengan demikian, kita memfokuskan eksplorasi kami pada pandangan guru pada kesulitan
dan minat pada
masalah matematika.
Pengamatan ketiga
mengacu pada kompleksitas pengetahuan guru dan jenis pengetahuan, menurut tiga
sumber utama tentang perkembangannya:
sistematis, keahlian,
dan ketentuan-ketentuan
(Kennedy 2002; Leikin 2006a). Kami berasumsi bahwa setiap perkembangan profesional tentu saja harus mencakup kombinasi
sumber sistematis dan keahlian
(Leikin 2008). Dengan demikian,
mata kuliah perkembangan profesional yang berfungsi
sebagai lingkungan untuk penelitian ini dimasukkan mode yang berbeda dari perkembangan profesional untuk calon guru
matematika (PMTS) yang mengambil bagian di dalamnya.
3.
Latar Belakang Teoritis
a.
Pemecahan masalah
matematika dalam proses belajar mengajar
Pemecahan masalah
matematika adalah jantung dari pendidikan matematika. Penelitian tentang
pemecahan masalah dalam matematika mempertimbangkan beberapa hal utama termasuk hakikat dan struktur tentang keahlian pemecahan masalah
(Davidson dan Sternberg 2003; Schoenfeld 1985; Silver dan Marshall 1990), strategi
pemecahan masalah dan peran proses heuristik dalam memecahkan masalah non-rutin (Polya
1973, 1981; Schoenfeld 1985), cara yang efektif mengajar pemecahan masalah
matematika (Kilpatrick 1985; Schoenfeld 1985; Silver dan Marshall 1990), dan sistem
kepercayaan mengenai pemecahan masalah (Callejo dan Vila 2009; Goldin 2009;
Leder dkk. 2002).
Analisis keahlian
pemecahan masalah (misalnya, Charles dan Lester 1982; Schoenfeld 1985; Silver 1987) menunjukkan bahwa ketrampilan pemecahan masalah
membutuhkan pengetahuan matematika yang memfasilitasi (1) pemahaman semantik tentang masalah, (2) kemampuan untuk
menghubungkan masalah yang diberikan
dengan potongan informasi yang sesuai yang sudah dipelajari sebelumnya, (3) penggunaan
beberapa gambaran
dalam memecahkan masalah, (4) kemampuan untuk mengenali kesamaan pada struktur masalah yang berbeda, (5)
analisis metakognitif dari
masalah dan solusinya; dan (6) kesadaran meta-matematika tentang estetika dari masalah dan
solusinya.
Di sisi lain, pemecahan
masalah dianggap sebagai sarana bagi
perkembangan pengetahuan matematika yang terhubung dan kuat. Arcavi dan
Friedlander (2007) menekankan bahwa untuk menjadi alat yang efektif bagi konstruksi pengetahuan, problem
solving harus termasuk dalam kurikulum matematika dalam sebuah spiral dan cara yang konsisten di
semua tingkatan
(K-12) matematika sekolah. English
dan Sriraman (2010) dalam diskusi mereka tentang hubungan antara penelitian problem
solving dan perkembangan
kurikulum menyetujui
definisi masalah yang disarankan oleh Lesh dan
Zawojewski (2007): 34
Sebuah
tugas, atau kegiatan yang diarahkan pada tujuan, menjadi
sebuah masalah (atau permasalahan) ketika 'problem solver' (yang
mungkin suatu kolaborasi kelompok spesialis) perlu
mengembangkan cara yang lebih produktif berpikir tentang situasi tertentu. (p.
782)
Dari
definisi tentang masalah ini, English dan Sriraman (2010) menyimpulkan bahwa:
...berpikir
dengan cara yang produktif membutuhkan problem slover untuk menafsirkan situasi
secara matematis, yang
biasanya melibatkan kemajuan melalui siklus berulang dari menjelaskan,
pengujian, dan merevisi interpretasi matematika baik mengidentifikasi,
mengintegrasikan, memodifikasi, ataupun memperbaiki kumpulan
konsep-konsep
matematika yang diambil dari berbagai sumber. (p. 269)
Jadi,
ketika memecahkan masalah, salah satunya
mengembangkan pengetahuan konten/materi.
Konsisten dengan Lesh dan Zawojewski (2007), English dan Sriraman (2010)
merekomendasikan bahwa problem solving seharusnya mejadi
pelengkap untuk perkembangan tentang pemahaman dari setiap konsep atau proses matematika
yang diberikan.
Singkatnya, problem
solving adalah alat didactical efektif yang memungkinkan
siswa untuk memobilisasi pengetahuan yang ada, membangun koneksi matematika yang baru antara pemahaman konsep dan sifat, dan membangun
pengetahuan baru dalam proses mengatasi tantangan yang menempel pada masalah-masalah (Lampert 2001; Silver et al. 2005;
Thompson 1985).
Thompson 1985).
Penelitian kami menganggap pemecahan masalah matematika menjadi komponen utuh pendidikan calon guru (Silver et
al. 2005). Kami percaya dengan
pendapat Polya (1973) mengenai pendidikan PMTS:
Guru seharusnya menempatkan diri di tempat siswa;
ia seharusnya melihat
kasus siswa; ia harus mencoba untuk memahami apa
yang terjadi di dalam pikiran siswa dan meminta sebuah pertanyaan atau menunjukkan
langkah yang bisa terjadi kepada siswa secara sendiri.
(p. 1)
Mengembangkan ide ini, Thompson (1985)
berpendapat bahwa guru perlu, pertama-tama, untuk mencapai pengalaman dalam '' pemecahan masalah matematika dari perspektif problem
solver sebelum mereka cukup bisa menangani pengajarannya ''
(hlm. 292). Tujuan kami dalam mata
kuliah
itu sangat kompleks:
pertama, untuk mengembangkan keahlian pemecahan masalah PMTS; kedua, untuk
mengembangkan kesadaran metamathematical
mereka tentang minat
dan kesulitan dari
setiap soal yang diberikan; dan ketiga, untuk mengembangkan keterampilan
pedagogis mereka dalam menjelajahi pemecahan masalah dan mendengarkan siswa.
b.
Peran tantangan dalam pendidikan matematika
Kami percaya bahwa
tantangan matematika adalah salah satu elemen inti yang memperkenalkan proses belajar baik pada siswa maupun guru. Menurut Taylor (2006), ''Tantangan
tidak hanya merupakan komponen penting dari proses belajar tetapi juga suatu keterampilan penting bagi kehidupan''
(p. 2). Prinsip-prinsip “mengembangkan
pendidikan'' (Davydov 1996) menyatakan bahwa untuk mengembangkan penalaran
matematika siswa, soal
seharusnya
tidak terlalu mudah atau terlalu sulit
, dan
peserta didik seharusnya
pendekatan soal
melalui kegiatan yang bermakna. Menurut Polya (1973), Schoenfeld (1985), dan
Charles dan Lester (1982), tantangan soal matematika seharusnya (a) memotivasi, (b) tidak termasuk
prosedur yang siap tersedia,
(c) memerlukan upaya, dan (d) memiliki beberapa pendekatan untuk sebuah penyelesaian. Leikin (2004)
berpendapat:
...secara
jelas, kriteria ini
relatif dan subjektif terhadap keahlian pemecahan masalah seseorang dalam
bidang tertentu, yaitu, soal
yang secara kognitif menuntut untuk satu orang mungkin sepele (atau sebaliknya)
untuk yang lain. (p. 209)
Seperti disebutkan sebelumnya, Leikin
(2009) telah mendefinisikan
tantangan matematika sebagai “kesulitan yang menarik'' bahwa seseorang
termotivasi untuk menyelesaiakannya. Menurut definisi ini, kami berpendapat bahwa sebuah soal matematika yang menantang adalah
sesuai dengan kemampuan siswa, tidak terlalu mudah atau terlalu sulit. Kedua, soal harus memotivasi siswa untuk
bertahan dengan penyelesaiannya
dan mengembangkan rasa ingin tahu matematika dan minat dalam pelajaran. Ketiga, soal harus mendukung dan mempercepat keyakinan siswa tentang
hakikat kreatif tentang matematika, hakikat konstruktif dari proses pembelajaran,
dan hakikat
dinamis dari masalah
matematika karena memiliki
jalur penyelesaian
yang berbeda dan mendukung gaya belajar individu dan konstruksi pengetahuan.
Menurut Jaworski (1992,
1994), tantangan matematika adalah salah satu dari tiga unsur utama dalam mengajar (bersama-sama
dengan kepekaan terhadap siswa dan pengelolaan pembelajaran). Pemilihan guru pada soal matematika untuk kelas dan
cara-cara yang
mana siswa diminta untuk mendekati
mereka menentukan kualitas matematika di dalam kelas (misalnya, Simon 1997;
Steinbring 1998). Menurut Brousseau (1997), peralihan soal yang baik untuk siswa adalah
fungsi utama guru dalam memperkenalkan pembelajaran matematika. Karena
itu, program pendidikan guru harus mencakup meta-analisis tentang soal matematika dari sudut
pandang tantangan yang menempel
pada soal, sementara pandangan relativistik pada tantangan matematika seharusnya secara eksplisit dibahas dengan calon guru.
Menantang guru dengan ''soal yang kuat'' merupakan dasar untuk perkembangan guru (Krainer 1993). Kuliah untuk guru matematika harus
melibatkan situasi pemecahan masalah menggabungkan masalah matematika dan
pedagogis (Cooney dan Krainer 1996). Menantang soal-soal yang tergabung dalam perkuliahan mampu meningkatkan perhatian
dan minat guru
selama proses perkuliahan.
Untuk merangsang penalaran pedagogis guru, perkuliahan seharusnya berdasarkan prinsip-prinsip yang sama
seperti mengajar matematika untuk siswa sekolah (Leikin 2008).
Di antara berbagai
jenis tantangan, kami telah mengidentifikasi
soal-soal yang membutuhkan kinerja penyelesaian bukan konvensional atau generalisasi dan
solusi yang baru untuk siswa. Dengan mengharuskan beberapa solusi untuk masalah
tertentu, kita menaikkan kompleksitas dari soal dan tantangan yang tertanam di dalamnya. Sesuai dengan
pandangan ini pada tantangan matematika dan perannya dalam pendidikan
matematika, pada umumnya, dan pendidikan guru, khususnya, kita memusatkan
perhatian kita pada MSTS sebagai
soal yang patut dicontoh yang menanamkan tantangan matematika, yang mana mereka mendorong
kinerja penyelesaian bukan konvensional bersama dengan konvensional dan dapat dianggap
sebagai 'persoalan baru''
ketika ''berpindah''
pada konteks yang baru.
c.
Soal multi penyelesaian
Kami menggunakan
definisi yang disarankan oleh Leikin (2007) dan menentukan soal penyelesaian ganda (MSTS) sebagai soal yang mengandung persyaratan
eksplisit untuk memecahkan masalah dengan
beberapa cara. Perbedaan dan persamaan antara solusi dapat diilustrasikan
dengan menggunakan (a) representasi yang berbeda dari konsep matematika, (b)
sifat yang berbeda (definisi atau teorema) dari konsep-konsep matematika dari
topik matematika tertentu, atau (c) alat-alat matematika yang berbeda dan
teorema dari berbagai cabang matematika.
Soal penyelesaian ganda (MSTS) telah terbukti menjadi alat
yang efektif untuk perkembangan
profesional praktek
guru matematika (Leikin dan Levav-Waynberg 2008, 2009; Perak dkk. 2005).
Sebagai hasil dari pelaksanaan MSTS di perkuliahan untuk melatih para guru, di mana guru menjadi peserta
didik sendiri, guru mulai menghasilkan
banyak
solusi untuk sebuah masalah
(Leikin dan Levav-Waynberg 2008). Pada akhir perkuliahan, guru telah mampu tidak hanya mereproduksi
solusi yang disajikan selama perkuliahan,
tetapi menghasilkan solusi yang
baru
dan asli. Hal ini juga menunjukkan bahwa kreativitas guru dikembangkan secara bermakna dan pengetahuan matematika
mereka menjadi lebih terhubung dan kaya.
Tidak kalah penting,
pemecahan masalah dengan cara yang berbeda mengembangkan kefasihan dan
fleksibilitas pikiran
peserta didik (Leikin 2009; Silver
1997; Star dan Newton 2009) sejak pendekatan ini mendorong pemecah untuk
menerapkan penalaran mereka
yang berbeda daripada terpaku pada satu ide matematika. Penerapan MSTS di perkuliahan untuk guru matematika
bertujuan mengembangkan fleksibilitas guru serta memajukan konsepsi pedagogis
mereka terkait dengan pengembangan fleksibilitas matematika pada siswanya Dalam penelitian ini, MSTS memainkan
peran ganda: keduanya adalah
alat
penelitian dan didaktis.
Kami
menguji efektivitas MSTS sebagai alat didaktis pada pengembangan konsepsi guru dalam konteks perkuliahan untuk PMTS. Kami juga menggunakan MSTS sebagai alat penelitian untuk menguji konsepsi matematika dan pedagogis guru, baik untuk menggali perkembangan konsepsi tersebut dalam mode sistematis maupun keahlian.
menguji efektivitas MSTS sebagai alat didaktis pada pengembangan konsepsi guru dalam konteks perkuliahan untuk PMTS. Kami juga menggunakan MSTS sebagai alat penelitian untuk menguji konsepsi matematika dan pedagogis guru, baik untuk menggali perkembangan konsepsi tersebut dalam mode sistematis maupun keahlian.
d.
Konsepsi guru
Struktur epistemologis pengetahuan matematika guru sangat
kompleks (Scheffler 1965). Ini berbeda dari struktur dan sifat setiap orang
yang tidak mengajarkan matematika (misalnya, insinyur, manajer, dan ekonom)
(Shulman 1986). Setelah orang menghubungkan hidupnya dengan profesi guru,
wacana nya pada matematika diarahkan untuk praktik mengajar dan proses belajar.
Ada perbedaan kerangka
teoritis yang menggambarkan pengetahuan guru:
Scheffler (1965) menunjukkan perbedaan antara pengetahuan, keyakinan, dan
keterampilan; Schulman (1986) membedakan antara matematika, pedagogis, dan
pengetahuan konten kurikulum;
Ball
et al. (2008) membangun kategori Shulman dan menentukan bahwa pengetahuan
matematika guru untuk
mengajar mencakup kemampuan untuk mempresentasikan ide matematika, untuk
menanggapi siswa tentang pertanyaan
'mengapa', untuk menemukan contoh untuk membuat hal-hal matematis tertentu, dan untuk
menghubungkan topik yang diajarkan dengan
topik dari tahun sebelumnya atau masa depan.
Menurut Shulman (1986) perbedaan antara pengetahuan
subjek-materi dan pengetahuan konten pedagogis, kami menganalisis perkembangan konsepsi
matematika dan pedagogis PMTS. Perhatian kita pada konsepsi guru tentang matematika berfokus pada
pengembangan kompetensi pemecahan masalah PMTS. Fokus kami pada konsepsi guru tentang meta-matematika dan pedagogis
mengikuti definisi tantangan matematika yang sudah disajikan sebelumnya dan menyoroti
perubahan dalam pandangan guru mengenai tingkat minat dan tingkat kesulitan soal matematika.
Menurut Kennedy (2002) perbedaan antara pengetahuan keahlian (yang utamanya diperoleh melalui pengalaman) dan pengetahuan
yang sistematis (yang utamanya
diperoleh melalui studi sistematis dalam perguruan tinggi dan universitas),
focus kami
pada pengembangan konsepsi PMTS dalam mode sistematis, melalui partisipasi
dalam sesi perkuliahan problem solving,
dan dalam mode keahlian,
melalui kerja individu dengan murid sekolah dasar ketika melakukan pekerjaan rumah.
4.
Kesimpulan
Penelitian ini
mengeksplorasi pengembangan konsepsi PMTS melalui pekerjaan soal multi penyelesaian (MSTS) selama perkuliahan “problem
solving”' pada
program
pendidikan guru. Dalam penelitian
ini,
kami menganalisis perkembangan konsepsi matematika pada guru melalui lensa kompetensi
pemecahan masalah PMTS seperti yang diungkapkan dalam: (a) strategi PMTS yang digunakan dalam memecahkan
masalah matematika dasar dan (b) kemampuan mereka untuk menghasilkan beberapa
solusi untuk masalah-masalah. Pengembangan meta-matematika dan konsepsi
pedagogis guru diperiksa
dengan analisis pemberian skor PMTS tentang
tingkat minat
dan tingkat kesulitan masalah yang mereka pecahkan. Seiring dengan penelitian Leikin dan Levav
Waynberg (2008, 2009), yang menunjukkan bahwa MSTS adalah alat pengembangan professional yang efektif dalam praktek guru pendidikan matematika
sekolah menengah, kita lebih
lanjut menunjukkan bahwa MSTS berguna dalam pendidikan calon guru matematika
dasar, berdasarkan temuan yang
akan dibahas
di bawah ini.
a.
Fleksibilitas dalam matematika dan
mengajar matematika
Kami telah menunjukkan
bahwa kompetensi pemecahan masalah pada
guru
telah berkembang selama perkuliahan. Guru menjadi lebih
sukses dalam memecahkan masalah, dan, apalagi, saat memecahkan masalah, mereka
mulai menggunakan strategi pemecahan masalah yang lebih maju. Fakta bahwa
mereka kurang sering menggunakan
strategi trial-and-error dan mulai menghubungkan masalah-masalah dasar dengan konsep-konsep
dan sifat matematika menunjukkan bahwa pengetahuan mereka telah menjadi lebih terhubung.
PMTS mengembangkan kemampuan mereka untuk menghasilkan beberapa solusi untuk
satu masalah tertentu dan dengan demikian meningkatkan fleksibilitas mental
mereka serta (berdasarkan Leikin dan Dinur 2007) potensi mereka untuk memantauan secara fleksibel diskusi matematika di
kelas mereka.
b.
Konvensionalitas soal
Kami menemukan bahwa
dua komponen utama memberikan kontribusi untuk pengembangan profesional guru
selama perkuliahan.
Pertama, MSTS tidak konvensional untuk PMTS, dan persyaratan untuk menghasilkan
beberapa solusi adalah tidak
biasa dan sulit. Persyaratan untuk memecahkan masalah dalam berbagai cara
meningkatkan tantangan matematika pada
soal.
Dalam salah satu tulisan refleksi oleh PMTS, kami menemukan pernyataan berikut:
Soal [memecahkan masalah dalam beberapa
cara] perlu menghabiskan waktu pada berpikir. Bagi saya itu bukan soal matematika biasa. Saya mulai
mengumpulkan materi matematika
[di buku], mencari formula yang terhubung kepada masalah dan hal ini memungkinkan saya untuk
melakukan penyelesaian.
Kedua, dengan mengalami kesulitan dan
mengatasinya,
PMTS yakin bahwa soal
bisa dipecahkan.
Dengan pengalaman belajar yang positif (Tzur 2010)
memungkinkan guru untuk mengembangkan baik pengetahuan matematika maupun pedagogis serta keyakinan mereka. Kami berpendapat bahwa kombinasi
ini didasarkan pada sifat menantang dari soal matematika yang ditujukan untuk PMTS yang sedang mengambil bagian dalam perkuliahan kami. Disertai
kemajuan dalam
keahlian pemecahan masalah mereka, sikap PMTS terhadap MST telah bergeser dari negatif ke positif,
dari mengabaikan persyaratan memecahkan masalah dengan cara yang berbeda
terhadap keyakinan bahwa ini adalah cara yang efektif untuk belajar, baik untuk
guru dan siswa mereka.
c.
Mengembangkan pengetahuan pada siswa dengan prestasi
rendah dan tinggi
Salah satu kontribusi
yang signifikan dari penelitian kami adalah bahwa ada perubahan ganda pada pengetahuan PMTS
dinyatakan dengan
perbaikan substansial pada
peserta dengan prestasi rendah, disertai dengan peningkatan
kesenjangan antara mereka dan peserta berprestasi tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
melalui MSTS baik PMTS
berprestasi tinggi
(kelompok
A) dan berprestasi rendah
(kelompok B) keduanya mengembangkan
keahlian pemecahan masalah mereka secara
signifikan selama perkuliahan.
C.
Latar Belakang
Masalah
Matematika
merupakan salah satu ilmu
yang berperan penting dalam pendidikan karena dapat diterapkan ke dalam
berbagai bidang kehidupan. Pola pikir matematika pun menjadi andalan dalam
pengembangan ilmu pengetahuan. Mengingat pentingnya matematika, maka perlu
adanya usaha yang bertujuan untuk selalu meningkatkan kualitas dan hasil pembelajaran
matematika. Untuk meningkatkan kualitas dan hasil pembelajaran matematika,
seorang guru harus mempunyai wawasan yang luas tentang berbagai metode atau pun
strategi pembelajaran. Pembelajaran yang terpusat oleh guru sebaiknya diubah
menjadi pembelajaran yang terpusat kepada siswa. Pembelajaran yang tidak
berpusat pada guru membantu siswa untuk membangun sendiri pemahamannya
sedangkan guru berperan sebagai fasilitator. Guru seharusnya mampu menciptakan
situasi belajar yang dapat membuat semua siswa untuk berperan aktif dalam
proses belajar dan menfasilitasi siswa untuk mengkonstruksikan konsep-konsep
yang dipelajarinya. Untuk mencapai kondisi tersebut, seorang guru harus mampu memilih,
melaksanakan, dan mengembangkan metode pembelajaran yang ada.
Oleh karena
itu penulis mempunyai inisiatif untuk menerapkan suatu pendekatan pembelajaran
dalam kelas yang digabungkan dengan pembelajaran kooperatif. Secara lebih
spesifik, pendekatan yang dipilih adalah pendekatan pemecahan masalah (problem
solving). Salah satu tujuan pengajaran melalui pemecahan masalah adalah
untuk mendorong siswa untuk memperbaiki dan membangun sebuah proses dalam
periode waktu dimana siswa melakukan sendiri proses tersebut untuk menemukan
beberapa ide untuk menjadi sebuah kesadaran pada kemungkinan yang lebih
(Carpenter dalam NCTM 1989). Dengan menggunakan pendekatan ini siswa akan lebih
bertanggung jawab atas pembelajaran yang mereka lakukan sendiri dan siswa dapat
menjadi lebih yang terlibat dalam pemecahan masalah dengan merumuskan dan
memecahkan masalah mereka sendiri, atau dengan menulis kembali masalah dalam
kata-kata sendiri guna memudahkan pemahaman.
Dari kajian di
atas, maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan pendekatan problem
solving dapat merangsang siswa untuk mengembangkan pengetahuannya dengan
cara yang lebih mudah dipahami, berkembang dari yang sederhana hingga menuju
pengetahuan yang lebih kompleks. Artinya, tahapan dalam menguasai materi yang
diajarkan tergantung dari siswa itu sendiri, guru tidak menuntut seluruh siswa
untuk mencapai hasil pembelajaran yang setara. Dengan kemampuan berpikir siswa
yang berbeda-beda (heterogen), pendekatan pembelajaran pemecahan masalah (problem
solving) akan semakin memungkinkan siswa untuk memperlihatkan
individualistis mereka. Siswa cenderung berkompetisi secara individual,
bersikap tertutup terhadap teman, kurang memberi perhatian pada teman sekelas,
bergaul hanya dengan orang tertentu, ingin menang sendiri, dan sebagainya.
Sehingga perlu diterapkan suatu model pembelajaran yang mampu mengatasi masalah
tersebut, yakni salah satunya dengan menerapkan pembelajaran kooperatif dalam
proses kegiatan belajar mengajar di kelas.
Situasi
kompetitif merupakan bagian dari siswa untuk mencapai tujuan kelompok, siswa
harus merasakan bahwa mereka akan mencapai tujuan jika dan hanya jika terdapat
kebersamaan dalam kelompoknya. Hasilnya adalah siswa yang sebelumnya merasa
kurang akan termotivasi untuk menjadi lebih baik, karena tidak ingin
kegagalannya akan menjadi kegagalan kelompoknya. Jika suasana ini tercipta
dalam pembelajaran, maka diharapkan semua siswa akan berlomba-lomba untuk tidak
gagal yang pada gilirannya akan dihasilkan siswa yang mau bekerja keras untuk
mencapai tujuan. Melalui sistem pengelompokan kecil dalam pembelajaran kooperatif,
memberikan kesempatan bagi siswa dalam mengembangkan interaksi sosial serta
meningkatkan sikap saling membantu dalam kerja sama untuk membantu anggota
kelompok yang masih mengalami kesulitan dalam proses belajar, sehingga siswa
tidak hanya belajar terbatas pada kemampuan diri sendiri saja.
Pembelajaran
dengan pendekatan penyelesaian masalah mempunyai keterkaitan dengan kemampuan
pemahaman konsep dan komunikasi matematis siswa. Hal itu terlihat dalam
langkah-langkah penyelesaian masalah. Ada empat langkah dalam penyelesaian
masalah (problem solving), yaitu memahami, merencanakan, menyelesaikan,
dan memeriksa kembali hasil penyelesaian masalahnya. Pada langkah penyelesaian
masalah tersebut, jelas terlihat bahwa siswa harus memiliki kemampuan pemahaman
konsep dan komunikasi matematis untuk menyelesaikan masalah. Pada tahap
memahami dan merencanakan, siswa dituntut untuk mengolah pemahamannya tentang
konsep persoalan yang tersaji dan mengaitkannya dengan materi yang sudah
dipelajari dengan persoalan tersebut. Kemudian dalam proses penyelesaian
masalahnya, siswa menggunakan kemampuan komunikasi matematisnya, yaitu untuk
mengkomunikasikan perencanaan tersebut.
Dari kajian di
atas, maka akan dilakukan penelitian untuk membuktikan bahwa dengan penggunaan
LKS berbasis problem solving melalui
pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan minat dan kemampuan
pehamahan konsep matematika siswa.
D.
Identifikasi
Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah
diuraikan sebelumnya, dapat diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut:
1.
Siswa masih
belum terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran.
2.
Kurangnya
pemahaman konsep siswa terhadap materi yang dipelajari.
3.
Pelaksanaan
pembelajaran matematika yang dilaksanakan masih berpusat kepada guru (teacher
centered), sehingga kurang efektif.
E.
Pembatasan Masalah
Mengingat
keterbatasan kemampuan peneliti, penelitian ini dibatasi pada pembelajaran
matematika dalam upaya meningkatkan minat dan pemahaman konsep matematika
dengan menggunakan LKS berbasis problem solving melalui model pembelajaran
kooperatif .
F.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka disusun rumusan
masalah sebagai berikut: “Apakah ada peningkatan minat dan pemahaman konsep
matematika siswa setelah dilakukan pembelajaran dengan menggunakan LKS berbasis
problem solving melalui pembelajaran kooperatif?”
G.
Tujuan Penelitian
Tujuan
penelitian ini adalah untuk meningkatkan minat dan pemahaman konsep matematika
siswa dengan menggunakan LKS berbasis problem solving melalui pembelajaran
kooperatif.
No comments:
Post a Comment