Friday, 19 February 2016

penggunaan LKS berbasis problem solving melalui pembelajaran kooperatif

MINAT DAN PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIKA SISWA DENGAN PENGGUNAAN LKS BERBASIS PROBLEM SOLVING MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF


A.      Sintesis Jurnal tentang Cooperative Learning
Judul jurnal: Promoting Cooperative Learning in Science and Mathematics Education: A Malaysian Perspective ditulis oleh Effandi Zakaria dan Zanaton Iksan, dari Eurasia Journal of Mathematics, Science & Technology Education, 2007, 3(1), 35-39.
1.        Abstrak
Tujuan dari artikel ini adalah untuk membahas kekurangan pada saat ini dalam bidang pendidikan sains dan matematika di Malaysia. Penggunaan pembelajaran kooperatif sebagai alternatif metode tradisional sudah ditekankan. Pembelajaran kooperatif didasarkan pada keyakinan bahwa belajar paling efektif ketika siswa secara aktif terlibat dalam berbagi ide-ide dan bekerja secara kooperatif untuk menyelesaikan tugas-tugas akademik. Artikel ini juga akan fokus pada studi pilihan  yang dilakukan secara lokal dan hasil pendidikan yang diharapkan oleh mereka. Sebuah tantangan terkait dengan menerapkan pembelajaran kooperatif juga dibahas.

2.        Pengantar
Kualitas pendidikan yang para guru sediakan untuk siswa sangat tergantung pada apa yang dilakukan guru di dalam kelas. Dengan demikian, dalam mempersiapkan siswa hari ini untuk menjadi orang sukses kelak, guru ilmu pengetahuan dan guru matematika perlu memastikan bahwa mereka mengajar efektif. Guru harus memiliki pengetahuan tentang bagaimana siswa belajar sains dan matematika dan bagaimana cara terbaik untuk mengajar. Mengubah cara kita mengajar dan apa yang kita ajarkan dalam sains dan matematika adalah suatu keterkaiatan profesional yang berkelanjutan. Segala upaya harus segera diambil sekarang untuk mengarahkan presentasi pelajaran sains dan matematika jauh dari metode tradisional menjadi lebih kepada pendekatan yang berpusat pada siswa (student centered).
Kurikulum sains untuk sekolah menengah telah dirancang untuk menyediakan para siswa dengan pengetahuan dan keterampilan dalam sains, mengembangkan keterampilan berpikir dan strategi yang memungkinkan mereka untuk memecahkan masalah dan membuat keputusan dalam kehidupan sehari-hari (Departemen Pendidikan Malaysia, 2002). Dalam matematika, kurikulum menyediakan siswa pengetahuan dan keterampilan matematika dan mengembangkan pemecahan masalah dan keterampilan pengambilan keputusan untuk penggunaan sehari-hari (Departemen Pendidikan, 2003). Baik kurikulum sains dan matematika maupun mata pelajaran lainnya dalam kurikulum sekolah menengah juga berusaha untuk menanamkan nilai-nilai luhur dan cinta pada negara.
Dua keterbatasan pedagogis telah diidentifikasi sebagai kekurangan utama dalam pendidikan menengah tradisional: pengajaran berbasis ceramah dan pengajaran berpusat pada guru. Pengajaran berbasis ceramah menekankan perolehan pengetahuan secara pasif. Dalam lingkungan seperti itu, siswa menjadi penerima pengetahuan yang pasif dan terpaksa untuk belajar hafalan. Sebagian besar dari pekerjaan melibatkan pembicaraan guru baik menggunakan teknik ceramah atau pertanyaan sederhana dan jawaban yang menuntut mengingat kembali dasar pengetahuan dari peserta didik. Pengajaran berbasis ceramah mendominasi aktivitas kelas dengan guru memberikan lebih dari 80% dari pembicaraan di dalam ruang kelas. Umumnya, hanya jawaban yang benar yang diterima oleh guru dan jawaban yang tidak benar dengan mudah hanya diabaikan. Siswa jarang bertanya atau bertukar pikiran dengan siswa lain di kelas tersebut. Kelas tradisional juga ditandai dengan demonstrasi langsung dan kegiatan untuk memverifikasi konsep yang sudah diperkenalkan sebelumnya. Oleh karena itu pengajaran bukan untuk pemahaman konseptual melainkan untuk menghafal dan mengingat fakta. Harus dicatat bahwa siswa yang mengembangkan pemahaman konseptual di awal akan melakukan yang terbaik pada pengetahuan prosedural nantinya (Grouws & Cebulla, 2000). Selanjutnya, siswa dengan pemahaman konseptual yang baik dapat melakukan dengan sukses pada neartransfer tugas dan mengembangkan prosedur dan keterampilan mereka meskipun belum diajarkan.
Dalam pendidikan tradisional berpusat pada guru, dominasi guru mengambil pusat kelas. Siswa mengandalkan guru mereka untuk memutuskan apa, kapan, dan bagaimana cara belajar. Pendekatan ini bagi pengajaran bekerja relatif baik. Namun, tidak jelas bahwa siswa belajar di, tingkat yang lebih tinggi,yaitu level berpikir konseptual.

3.        Kebutuhan untuk Memperbaiki
Dunia menjadi semakin "kecil". Gerakan di salah satu bagian dari dunia mengerahkan pengaruh kuat pada bagian lain dari dunia. Ada keterlibatan yang lebih dari masyarakat dan individu dari berbagai bagian dunia. Pertumbuhan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah luar biasa. Kekuatan ini tidak mungkin untuk dicegah dan mereka memberikan tantangan dan peluang bagi orang-orang di bidang pendidikan sains dan matematika. Pendidikan hari ini harus memungkinkan siswa untuk memenuhi tantangan di masa depan dan tuntutan lingkungan kerja dan kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, siswa tidak hanya membutuhkan pengetahuan tetapi juga kemampuan komunikasi, kemampuan memecahkan masalah, kreatif dan keterampilan berpikir kritis dalam tahun-tahun mendatang. Sebuah Asosiasi Amerika untuk Kemajuan Ilmu Pengetahuan (1989: 148) melaporkan bahwa:
"hakikat kolaboratif pada kerja ilmiah dan teknologi harus secara kuat diperkuat oleh seringnya aktivitas kelompok di dalam kelas. Para ilmuwan dan insinyur bekerja sebagian besar di dalam kelompok-kelompok  dan kurang sering terisolasi oleh peneliti. Demikian pula, siswa seharusnya memperoleh pengalaman berbagi tanggung jawab untuk belajar dengan satu sama lain ".
Kegiatan yang biasanya ditemui di kelas sains, seperti dilansir oleh guru sains yang ceramah guru (25%), praktek siswa dengan panduan guru (19%) dan siswa mengerjakan masalah secara sendiri (11%) dan pekerjaan rumah (13%) (Martin et al. 2004). Dalam matematika, 64% guru melaporkan bahwa mereka menggunakan buku sebagai dasar utama dari pelajaran mereka. Tiga terbesar kegiatan dominan di kelas matematika adalah guru ceramah, latihan siswa dengan dipandu oleh guru dan siswa mengerjakan masalah secara sendiri, perhitungan untuk 58% dari waktu jam pelajaran. Kegiatan lainnya adalah meninjau pekerjaan rumah, mengajarkan kembali dan menjelaskan isi, melaksanakan tes dan kuis dan berpartisipasi dalam tugas manajemen kelas yang tidak berhubungan dengan materi pelajaran (Mullis et al. 2004).

4.        Pembelajaran Kooperatif: Sebuah Alternatif untuk Metode Tradisional
Tantangan dalam pendidikan saat ini adalah untuk secara efektif mengajar siswa-siswa dari beragam kemampuan dan tingkat yang berbeda dalam belajar. Guru diharapkan untuk mengajar dengan cara yang memungkinkan siswa untuk belajar konsep sains dan matematika saat proses memperoleh keterampilan, sikap positif dan nilai-nilai serta keterampilan pemecahan masalah. Berbagai strategi pengajaran telah dianjurkan untuk digunakan dalam kelas sains dan matematika, mulai dari pendekatan yang berpusat pada guru menjadi lebih kepada berpusat pada siswa. Dalam dekade terakhir, ada sejumlah besar penelitian dilakukan pada pembelajaran kooperatif dalam sains dan matematika. Pembelajaran kooperatif didasarkan pada keyakinan bahwa belajar adalah paling efektif ketika siswa secara aktif terlibat dalam berbagi ide dan bekerja secara kooperatif untuk menyelesaikan tugas-tugas akademik. Pembelajaran kooperatif telah digunakan baik sebagai metode pembelajaran maupun sebagai sarana belajar di berbagai tingkat pendidikan dan di berbagai bidang studi. Johnson, Johnson dan Holubec (1994) mengusulkan lima elemen penting dari pembelajaran kooperatif:
(a)      saling ketergantungan positif: Keberhasilan satu peserta didik tergantung pada keberhasilan peserta didik lainnya.
(b)      interaksi promotif: Individu dapat mencapai interaksi promotif dengan membantu satu sama lain, bertukar sumber, menantang suatu kesimpulan satu sama yang lain, memberikan umpan balik, mendorong dan berjuang untuk saling menguntungkan.
(c)      akuntabilitas individual: Guru harus menilai jumlah usaha bahwa masing-masing anggota mempunyi kontribusi. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan tes individu untuk setiap siswa dan secara acak memanggil siswa untuk mempresentasikan karya dari kelompok mereka.
(d)     keterampilan interpersonal dan kelompok kecil: Guru harus memberikan kesempatan bagi anggota kelompok untuk mengenal satu sama lain, menerima dan saling mendukung lainnya, berkomunikasi secara akurat dan menyelesaikan perbedaan secara konstruktif.
(e)      pengolahan grup: Guru juga harus memberikan peluang untuk kelas untuk menilai kemajuan kelompok. Pengolahan kelompok memungkinkan kelompok untuk fokus pada hubungan kerja yang baik, memfasilitasi keterampilan pembelajaran kooperatif dan memastikan bahwa setiap anggota menerima umpan balik.

Pada dasarnya, pembelajaran kooperatif, merupakan pergeseran paradigma pendidikan dari pendkatan berusat pada guru menjadi pembelajaran yang lebih banyak berpusat pada siswa di dalam kelompok-kelompok kecil. Hal ini menciptakan peluang bagus bagi siswa untuk terlibat dalam pemecahan masalah dengan bantuan anggota kelompok mereka (Effandi, 2005).
Di Malaysia, penelitian tentang pembelajaran kooperatif telah dilakukan sejak tahun 1990-an (Nor Azizah & Chong, 2000). Revisi kurikulum sekolah dasar dan menengah menekankan pada penggunaan pembelajaran kooperatif sebagai alternatif dari metode pengajaran tradisional. (Kementerian Pendidikan Malaysia, 2001). Pembelajaran kooperatif secara umum dipahami sebagai pembelajaran yang terjadi dalam kelompok-kelompok kecil di mana siswa berbagi ide dan bekerja sama untuk menyelesaikan tugas yang diberikan. Ada beberapa variasi model pembelajaran kooperatif (Slavin, 1995), sebagai contoh dalam STAD (Student Teams-Achievement Divisi), siswa dikelompokkan menurut kemampuan, jenis kelamin dan etnis yang beragam. Guru menjelaskan materi dengan cara yang sama seperti biasanya, kemudian siswa bekerja dalam kelompok mereka untuk memastikan mereka semua menguasai materi pelajaran. Di akhir pelajaran, semua siswa melaksanakan kuis secara individu. Siswa mendapatkan poin tim berdasarkan seberapa baik mereka memperoleh nilai pada kuis yang dibandingkan dengan hasil/prestasi sebelumnya. Tidak seperti STAD, dalam TGT (Tim-Games- Turnamen) kuis diganti dengan turnamen. Siswa bersaing di meja turnamen melawan siswa dari tim lain yang sama dengan mereka dalam hal pencapaian hasil sebelumnya. Siswa mendapatkan poin tim berdasarkan seberapa baik yang mereka lakukan di meja turnamennya. Di JIGSAW, siswa bertanggung jawab untuk mengajarkan materi satu sama lain. Tugas dibagi menjadi beberapa kelompok ahli, dan setiap siswa ditugaskan dengan satu kelompok. Para ahli dari kelompok-kelompok yang berbeda bertemu bersama-sama dan mendiskusikan daerah ahli mereka. Para siswa kemudian kembali ke kelompok mereka dan mengajar bergiliran.
Pembelajaran kooperatif menciptakan banyak peluang belajar yang tidak biasanya terjadi di tradisional ruang kelas. Menurut Nor Azizah (1996), pembelajaran kooperatif memiliki potensi dalam kelas sains karena faktor-faktor berikut: (a) siswa sains selalu bekerja dalam kelompok selama eksperimen di laboratorium karena itu apa yang mereka butuhkan adalah keterampilan untuk bekerja dalam kelompok (b) laboratorium sains luas dengan meja dan kursi yang utuh. (c) kelas sains biasanya dua periode yang masing-masing waktunya 40 menit, cukup waktu untuk pembelajaran kooperatif dan (d) selama experimen banyak nilai-nilai dapat ditanamkan misal kebersihan, dapat dipercaya dll. Siti Rahayah (1998) lebih lanjut menyatakan bahwa guru sains perlu mencoba pembelajaran kooperatif untuk meningkatkan keterampilan ilmiah dan untuk meningkatkan prestasi di bidang sains.

5.        Hasil Pendidikan yang Diharapkan dari Pembelajaran Kooperatif
Pusat tujuan pembelajaran kooperatif dalam pendidikan sains dan matematika adalah peningkatan prestasi, keterampilan pemecahan masalah, sikap dan menanamkan nilai-nilai. Bagaimana pembelajaran kooperatif mempengaruhi prestasi siswa dan kemampuan memecahkan masalah telah diselidiki oleh Effandi (2003). Penelitian ini membandingkan kelompok utuh prestasi matematika  dan keterampilan pemecahan masalah siswa. Kelompok eksperimen diajarkan menggunakan metode pembelajaran kooperatif dan kelompok kontrol diajarkan menggunakan metode ceramah tradisional. Pengajaran kelompok kooperatif menunjukkan hasil signifikan lebih baik dalam prestasi matematika dan keterampilan pemecahan masalah. Ukuran pengaruhnya sedang dan praktis pasti bermakna. Ia juga menemukan bahwa siswa dalam kelompok pembelajaran kooperatif memiliki tanggapan menguntungkan terhadap kerja kelompok. Dia menyimpulkan bahwa pemanfaatan metode pembelajaran kooperatif adalah alternatif lebih baik daripada metode pembelajaran tradisional. Studi lain oleh Lee Guak Eam (1999), menggunakan TGT dan STAD sebagai model menemukan bahwa siswa yang diajarkan dengan struktur kooperatif mengungguli siswa dengan struktur tujuan individualistik di pemecahan masalah matematika. Peneliti lain memiliki temuan serupa yang mengarah ke prestasi manfaat menggunakan pembelajaran kooperatif (Faizah, 1999; Yee, 1995).
Terlepas dari prestasi dan pemecahan masalah, siswa juga harus ditanamkan dengan sikap dan nilai-nilai yang sesuai dengan kehidupan mereka sebagai seorang siswa. Baik Azizah dkk. (1996), dalam penelitian mereka melibatkan 966 murid dan menggunakan metode STAD dan Jigsaw II, menemukan bahwa pembelajaran kooperatif dapat menanamkan nilai-nilai seperti kebebasan, cinta dan kebersihan. Penelitian serupa yang dilakukan oleh Siti Rahaya (1998) menggunakan STAD / Jigsaw sebagai model yang melibatkan 1.180 siswa dari 18 sekolah, menyimpulkan bahwa nilai-nilai tentang saling ketergantungan, rasional,cinta dan kerja keras yang mencolok ditanamkan. Juga ditemukan bahwa pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan keterampilan ilmiah, mempromosikan pembelajaran penyelidikan dan meningkatkan prestasi sains. Para siswa ditemukan menikmati belajar dalam kelompok. Menurut Nor Azizah dan Chong (2000), hasil dari dua studi bervariasi karena perbedaan latar belakang sekolah dan jenis siswa di sekolah masing-masing.
Sikap juga telah menjadi fokus dari lebih dari satu studi tentang pembelajaran kooperatif. Sebuah studi yang dilakukan oleh Abdul Halim (2000) menemukan bahwa siswa di kelompok eksperimen membangun sikap positif terhadap ilmu pengetahuan (sains). Zainun (2001) meneliti efek dari pembelajaran kooperatif menggunakan STAD sebagai model. Hasil menunjukkan sikap positif terhadap matematika. Kebanyakan siswa juga memiliki persepsi positif terhadap STAD. Penelitian lain yang dilakukan oleh Mazlan (2002) menemukan bahwa siswa dalam kelompok eksperimen membangun sikap positif terhadap matematika. Namun, sebuah penetian oleh Meriam Ismail (2000), menggunakan TGT (Teams Permainan Turnamen) menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan sikap yang signifikan terhadap matematika antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Periode treatmen  yang singkat yaitu 3 ½ minggu mungkin menjadi alasan yang mungkin untuk tidak ada perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok.

6.        Tantangan
Menggabungkan pembelajaran kooperatif dalam kelas ilmu pengetahuan (sains) dan matematika bukan tanpa tantangan. Awalnya, guru dan siswa harus menghadapi berbagai tantangan. Masalah utama yang timbul sebagai berikut:
Perlu untuk mempersiapkan bahan tambahan untuk penggunaan kelas
Kebutuhan untuk menyiapkan bahan memerlukan banyak pekerjaan oleh guru, oleh karena itu, beban bagi mereka untuk menyiapkan bahan-bahan baru.
Takut kehilangan cakupan konten
Metode pembelajaran kooperatif sering mengambil waktu lebih lama daripada ceramah. Guru menyimpulkan bahwa itu adalah buang-buang waktu.
Tidak percaya siswa dalam memperoleh pengetahuan dengan dirisendiri
Guru berpikir mereka harus memberitahu siswa mereka apa dan cara belajar. Hanya guru memiliki pengetahuan dan keahlian.
Tidak memiliki keakraban dengan metode pembelajaran kooperatif
Pembelajaran kooperatif adalah hal baru untuk beberapa guru sehingga mereka perlu waktu untuk membiasakan diri dengan metode baru.
Siswa tidak memiliki keterampilan untuk bekerja dalam kelompok
Para guru sering prihatin dengan partisipasi siswa dalam kegiatan kelompok. Mereka berpikir bahwa siswa tidak memiliki keterampilan yang diperlukan untuk bekerja dalam kelompok. Namun, menurut Ong dan Yeam (2000) guru harus mengajarkan keterampilan yang hilang dan / atau review dan memperkuat keterampilan yang diperlukan siswa.

7.        Kesimpulan
Perubahan diperlukan dalam pengajaran sains dan matematika. Guru harus memberikan sedikit penekanan pada perolehan informasi oleh siswa, menyajikan pengetahuan ilmiah dan matematika melalui ceramah, meminta untuk membacakan kembali pengetahuan yang diperoleh dan bekerja sendirian. Penekanan yang lebih harus diberikan pada pemahaman siswa tentang konsep tertentu, membimbing siswa dalam pembelajaran aktif, memberikan kesempatan untuk diskusi dan elaborasi dan mendorong mereka untuk bekerja dengan rekan-rekan dan guru. Dalam perkembangan terakhir, Pemerintah telah memperkenalkan penggunaan bahasa Inggris sebagai pengantar dalam sains dan matematika. Langkah ini akan memberikan siswa kesempatan untuk tetap sejajar dengan pesatnya perkembangan pengetahuan di dunia sains, matematika dan teknologi. Usaha kolaboratif dengan siswa dari negara lain sekarang sangat mungkin dan harus didukung.

B.       Problem Solving
Judul jurnal: Interesting and difficult mathematical problems: changing teachers’ views by employing multiple-solution tasks, oleh Raisa Guberman dan Roza Leikin, dari Journal Mathematics Teacher Education (2013), 16, 33-56.

1.        Abstrak
Penelitian ini megingat bahwa problem solving berada di jantung pengajaran dan pembelajaran matematika, sementara tantangan matematika adalah sebuah  elemen inti dari setiap proses pendidikan. Desain penelitian membahas kompleksitas pengetahuan guru. Hal itu bertujuan untuk menggali perkembangan konsepsi matematika dan pedagogis guru terkait dengan kerja yang sistematis tentang soal multi penyelesaian (MSTS) dalam  kuliah '' pemecahan masalah '' untuk calon guru matematika (PMTS). Perhatian kita pada konsepsi matematika guru fokus pada perkembangan kompetensi problem solving PMTS. Perhatian kita untuk konsepsi meta-matematika dan pedagogis guru difokuskan pada perubahan pandangan guru mengenai tingkat minat dan tingkat kesulitan soal matematika. Kami telah membedakan antara mode sistematis dan keahlian perkembangan profesional yang terintegrasi dalam mata kuliah. Modus sistematis meliputi sesi problem solving dan diskusi reflektif pada ruang solusi secara kolektif. Modus keahlian meliputi wawancara pada siswa sekolah. Penelitian ini menunjukkan keefektivan dari MSTS untuk perkembangan profesional PMTS.



2.        Pengantar
Penelitian yang dipaparkan dalam karya ilmiah ini terinspirasi oleh tiga pengamatan utama: Pertama, kita menganggap bahwa pemecahan masalah matematika berada di jantung pengajaran dan pembelajaran matematika (Charles dan Lester 1982; Polya 1973; Schoenfeld 1983; Silver 1987). Setelah sebelumnya penelitian yang menunjukkan bahwa memecahkan masalah dalam berbagai cara adalah alat yang efektif untuk pengembangan profesional guru matematika, kita telah memasukkan soal multi penyelesaian (MST) di dalam mata kuliah, yang kita rancang khusus untuk keperluan penelitian saat ini (Leikin dan Levav-Waynberg 2008, 2009).
Kedua, kami menganggap tantangan matematika menjadi elemen inti dari setiap proses pendidikan dan menerima posisi bahwa  peran utama guru dalam kelas adalah peralihan yang baik-yaitu, tantangan-masalah pada siswanya (Brousseau 1997). Menurut Leikin (2009), kita mendefinisikan tantangan sebagai '' kesulitan yang menarik, '' yang mana pelajar diminta untuk mengatasi dan yang ia dekati dengan motivasi. Pada gilirannya, ketika memilih masalah, guru harus mengevaluasi kesesuaian tugas baik dengan kurikulum sebagai kesesuaian untuk kelas tertentu, maupun dari sudut pandang kesulitan dan minat siswa. Dengan demikian, kita memfokuskan eksplorasi kami pada pandangan guru pada kesulitan dan minat pada masalah matematika.
Pengamatan ketiga mengacu pada kompleksitas pengetahuan guru dan jenis pengetahuan, menurut tiga sumber utama tentang perkembangannya: sistematis, keahlian, dan ketentuan-ketentuan (Kennedy 2002; Leikin 2006a). Kami berasumsi bahwa setiap perkembangan profesional tentu saja harus mencakup kombinasi sumber sistematis dan keahlian (Leikin 2008). Dengan demikian, mata kuliah perkembangan profesional yang berfungsi sebagai lingkungan untuk penelitian ini dimasukkan mode yang berbeda dari perkembangan profesional untuk calon guru matematika (PMTS) yang mengambil bagian di dalamnya.

3.        Latar Belakang Teoritis
a.       Pemecahan masalah matematika dalam proses belajar mengajar
Pemecahan masalah matematika adalah jantung dari pendidikan matematika. Penelitian tentang pemecahan masalah dalam matematika mempertimbangkan beberapa hal utama termasuk hakikat dan struktur tentang keahlian pemecahan masalah (Davidson dan Sternberg 2003; Schoenfeld 1985; Silver dan Marshall 1990), strategi pemecahan masalah dan peran proses heuristik dalam memecahkan masalah non-rutin (Polya 1973, 1981; Schoenfeld 1985), cara yang efektif mengajar pemecahan masalah matematika (Kilpatrick 1985; Schoenfeld 1985; Silver dan Marshall 1990), dan sistem kepercayaan mengenai pemecahan masalah (Callejo dan Vila 2009; Goldin 2009; Leder dkk. 2002).
Analisis keahlian pemecahan masalah (misalnya, Charles dan Lester 1982; Schoenfeld 1985; Silver 1987) menunjukkan bahwa ketrampilan pemecahan masalah membutuhkan pengetahuan matematika yang memfasilitasi (1) pemahaman semantik tentang masalah, (2) kemampuan untuk menghubungkan masalah yang diberikan dengan potongan informasi yang sesuai yang sudah dipelajari sebelumnya, (3) penggunaan beberapa gambaran dalam memecahkan masalah, (4) kemampuan untuk mengenali kesamaan pada struktur masalah yang berbeda, (5) analisis metakognitif dari masalah dan solusinya; dan (6) kesadaran meta-matematika tentang estetika dari masalah dan solusinya.
Di sisi lain, pemecahan masalah dianggap sebagai sarana bagi perkembangan pengetahuan matematika yang terhubung dan kuat. Arcavi dan Friedlander (2007) menekankan bahwa untuk menjadi alat yang efektif bagi konstruksi pengetahuan, problem solving harus termasuk dalam kurikulum matematika dalam sebuah spiral dan cara yang konsisten di semua tingkatan (K-12) matematika sekolah. English dan Sriraman (2010) dalam diskusi mereka tentang hubungan antara penelitian problem solving dan perkembangan kurikulum menyetujui definisi masalah yang disarankan oleh Lesh dan Zawojewski (2007): 34
Sebuah tugas, atau kegiatan yang diarahkan pada tujuan, menjadi sebuah masalah (atau permasalahan) ketika 'problem solver' (yang mungkin suatu kolaborasi kelompok spesialis) perlu mengembangkan cara yang lebih produktif berpikir tentang situasi tertentu. (p. 782)
Dari definisi tentang masalah ini, English dan Sriraman (2010) menyimpulkan bahwa:
...berpikir dengan cara yang produktif membutuhkan problem slover untuk menafsirkan situasi secara matematis, yang biasanya melibatkan kemajuan melalui siklus berulang dari menjelaskan, pengujian, dan merevisi interpretasi matematika baik mengidentifikasi, mengintegrasikan, memodifikasi, ataupun memperbaiki kumpulan konsep-konsep matematika yang diambil dari berbagai sumber. (p. 269)
Jadi, ketika memecahkan masalah, salah satunya mengembangkan pengetahuan konten/materi. Konsisten dengan Lesh dan Zawojewski (2007), English dan Sriraman (2010) merekomendasikan bahwa problem solving seharusnya mejadi pelengkap untuk perkembangan tentang pemahaman dari setiap konsep atau proses matematika yang diberikan.
Singkatnya, problem solving adalah alat didactical efektif yang memungkinkan siswa untuk memobilisasi pengetahuan yang ada, membangun koneksi matematika yang baru antara pemahaman konsep dan sifat, dan membangun pengetahuan baru dalam proses mengatasi tantangan yang menempel pada masalah-masalah (Lampert 2001; Silver et al. 2005;
Thompson 1985).
Penelitian kami menganggap pemecahan masalah matematika menjadi komponen utuh pendidikan calon guru (Silver et al. 2005). Kami percaya dengan pendapat Polya (1973) mengenai pendidikan PMTS:
Guru seharusnya menempatkan diri di tempat siswa; ia seharusnya melihat kasus siswa; ia harus mencoba untuk memahami apa yang terjadi di dalam pikiran siswa dan meminta sebuah pertanyaan atau menunjukkan langkah yang bisa terjadi kepada siswa secara sendiri. (p. 1)
Mengembangkan ide ini, Thompson (1985) berpendapat bahwa guru perlu, pertama-tama, untuk mencapai pengalaman dalam '' pemecahan masalah matematika dari perspektif problem solver sebelum mereka cukup bisa menangani pengajarannya '' (hlm. 292). Tujuan kami dalam mata kuliah itu sangat kompleks: pertama, untuk mengembangkan keahlian pemecahan masalah PMTS; kedua, untuk mengembangkan kesadaran metamathematical mereka tentang minat dan kesulitan dari setiap soal yang diberikan; dan ketiga, untuk mengembangkan keterampilan pedagogis mereka dalam menjelajahi pemecahan masalah dan mendengarkan siswa.
           
b.      Peran tantangan dalam pendidikan matematika
Kami percaya bahwa tantangan matematika adalah salah satu elemen inti yang memperkenalkan proses belajar baik pada siswa maupun guru. Menurut Taylor (2006), ''Tantangan tidak hanya merupakan komponen penting dari proses belajar tetapi juga suatu keterampilan penting bagi kehidupan'' (p. 2). Prinsip-prinsip mengembangkan pendidikan'' (Davydov 1996) menyatakan bahwa untuk mengembangkan penalaran matematika siswa, soal seharusnya tidak terlalu mudah atau terlalu sulit , dan peserta didik seharusnya pendekatan soal melalui kegiatan yang bermakna. Menurut Polya (1973), Schoenfeld (1985), dan Charles dan Lester (1982), tantangan soal matematika seharusnya (a) memotivasi, (b) tidak termasuk prosedur yang siap tersedia, (c) memerlukan upaya, dan (d) memiliki beberapa pendekatan untuk sebuah penyelesaian. Leikin (2004) berpendapat:
...secara jelas, kriteria ini relatif dan subjektif terhadap keahlian pemecahan masalah seseorang dalam bidang tertentu, yaitu, soal yang secara kognitif menuntut untuk satu orang mungkin sepele (atau sebaliknya) untuk yang lain. (p. 209)
Seperti disebutkan sebelumnya, Leikin (2009) telah mendefinisikan tantangan matematika sebagai kesulitan yang menarik'' bahwa seseorang termotivasi untuk menyelesaiakannya. Menurut definisi ini, kami berpendapat bahwa sebuah soal matematika yang menantang adalah sesuai dengan kemampuan siswa, tidak terlalu mudah atau terlalu sulit. Kedua, soal harus memotivasi siswa untuk bertahan dengan penyelesaiannya dan mengembangkan rasa ingin tahu matematika dan minat dalam pelajaran. Ketiga, soal harus mendukung dan mempercepat keyakinan siswa tentang hakikat kreatif tentang matematika, hakikat konstruktif dari proses pembelajaran, dan hakikat dinamis dari masalah matematika karena memiliki jalur penyelesaian yang berbeda dan mendukung gaya belajar individu dan konstruksi pengetahuan.
Menurut Jaworski (1992, 1994), tantangan matematika adalah salah satu dari tiga unsur utama dalam mengajar (bersama-sama dengan kepekaan terhadap siswa dan pengelolaan pembelajaran). Pemilihan guru pada soal matematika untuk kelas dan cara-cara yang mana siswa diminta untuk mendekati mereka menentukan kualitas matematika di dalam kelas (misalnya, Simon 1997; Steinbring 1998). Menurut Brousseau (1997), peralihan soal yang baik untuk siswa adalah fungsi utama guru dalam memperkenalkan pembelajaran matematika. Karena itu, program pendidikan guru harus mencakup meta-analisis tentang soal matematika dari sudut pandang tantangan yang menempel pada soal, sementara pandangan relativistik pada tantangan matematika seharusnya secara eksplisit dibahas dengan calon guru.
Menantang guru dengan ''soal yang kuat'' merupakan dasar untuk perkembangan guru (Krainer 1993). Kuliah untuk guru matematika harus melibatkan situasi pemecahan masalah menggabungkan masalah matematika dan pedagogis (Cooney dan Krainer 1996). Menantang soal-soal yang tergabung dalam perkuliahan mampu meningkatkan perhatian dan minat guru selama proses perkuliahan. Untuk merangsang penalaran pedagogis guru, perkuliahan seharusnya berdasarkan prinsip-prinsip yang sama seperti mengajar matematika untuk siswa sekolah (Leikin 2008).
Di antara berbagai jenis tantangan, kami telah mengidentifikasi soal-soal yang membutuhkan kinerja penyelesaian bukan konvensional atau generalisasi dan solusi yang baru untuk siswa. Dengan mengharuskan beberapa solusi untuk masalah tertentu, kita menaikkan kompleksitas dari soal dan tantangan yang tertanam di dalamnya. Sesuai dengan pandangan ini pada tantangan matematika dan perannya dalam pendidikan matematika, pada umumnya, dan pendidikan guru, khususnya, kita memusatkan perhatian kita pada MSTS sebagai soal yang patut dicontoh yang menanamkan tantangan matematika, yang mana mereka mendorong kinerja penyelesaian bukan konvensional bersama dengan konvensional dan dapat dianggap sebagai 'persoalan baru'' ketika ''berpindah'' pada konteks yang baru.

c.       Soal multi penyelesaian
Kami menggunakan definisi yang disarankan oleh Leikin (2007) dan menentukan soal penyelesaian ganda (MSTS) sebagai soal yang mengandung persyaratan eksplisit untuk memecahkan masalah dengan beberapa cara. Perbedaan dan persamaan antara solusi dapat diilustrasikan dengan menggunakan (a) representasi yang berbeda dari konsep matematika, (b) sifat yang berbeda (definisi atau teorema) dari konsep-konsep matematika dari topik matematika tertentu, atau (c) alat-alat matematika yang berbeda dan teorema dari berbagai cabang matematika. 
Soal penyelesaian ganda (MSTS) telah terbukti menjadi alat yang efektif untuk perkembangan profesional praktek guru matematika (Leikin dan Levav-Waynberg 2008, 2009; Perak dkk. 2005). Sebagai hasil dari pelaksanaan MSTS di perkuliahan untuk melatih para guru, di mana guru menjadi peserta didik sendiri, guru mulai menghasilkan banyak solusi untuk sebuah masalah (Leikin dan Levav-Waynberg 2008). Pada akhir perkuliahan, guru telah mampu tidak hanya mereproduksi solusi yang disajikan selama perkuliahan, tetapi menghasilkan solusi yang baru dan asli. Hal ini juga menunjukkan bahwa kreativitas guru dikembangkan secara bermakna dan pengetahuan matematika mereka menjadi lebih terhubung dan kaya.
Tidak kalah penting, pemecahan masalah dengan cara yang berbeda mengembangkan kefasihan dan fleksibilitas pikiran peserta didik (Leikin 2009; Silver 1997; Star dan Newton 2009) sejak pendekatan ini mendorong pemecah untuk menerapkan penalaran mereka yang berbeda daripada terpaku pada satu ide matematika. Penerapan MSTS di perkuliahan untuk guru matematika bertujuan mengembangkan fleksibilitas guru serta memajukan konsepsi pedagogis mereka terkait dengan pengembangan fleksibilitas matematika pada siswanya Dalam penelitian ini, MSTS memainkan peran ganda: keduanya adalah alat penelitian dan didaktis. Kami
meng
uji efektivitas MSTS sebagai alat didaktis pada pengembangan konsepsi guru dalam konteks perkuliahan untuk  PMTS. Kami juga menggunakan MSTS sebagai alat penelitian untuk menguji konsepsi matematika dan pedagogis guru, baik untuk menggali perkembangan konsepsi tersebut dalam mode sistematis maupun keahlian.

d.      Konsepsi guru
Struktur epistemologis pengetahuan matematika guru sangat kompleks (Scheffler 1965). Ini berbeda dari struktur dan sifat setiap orang yang tidak mengajarkan matematika (misalnya, insinyur, manajer, dan ekonom) (Shulman 1986). Setelah orang menghubungkan hidupnya dengan profesi guru, wacana nya pada matematika diarahkan untuk praktik mengajar dan proses belajar. Ada perbedaan kerangka teoritis yang menggambarkan pengetahuan guru: Scheffler (1965) menunjukkan perbedaan antara pengetahuan, keyakinan, dan keterampilan; Schulman (1986) membedakan antara matematika, pedagogis, dan pengetahuan konten kurikulum; Ball et al. (2008) membangun kategori Shulman dan menentukan bahwa pengetahuan matematika guru untuk mengajar mencakup kemampuan untuk mempresentasikan ide matematika, untuk menanggapi siswa tentang pertanyaan 'mengapa', untuk menemukan contoh untuk membuat hal-hal matematis tertentu, dan untuk menghubungkan topik yang diajarkan dengan topik dari tahun sebelumnya atau masa depan.
Menurut Shulman (1986) perbedaan antara pengetahuan subjek-materi dan pengetahuan konten pedagogis, kami menganalisis perkembangan konsepsi matematika dan pedagogis PMTS. Perhatian kita pada konsepsi guru tentang matematika berfokus pada pengembangan kompetensi pemecahan masalah PMTS. Fokus kami pada konsepsi guru tentang meta-matematika dan pedagogis mengikuti definisi tantangan matematika yang sudah disajikan sebelumnya dan menyoroti perubahan dalam pandangan guru mengenai tingkat minat dan tingkat kesulitan soal matematika.
Menurut Kennedy (2002) perbedaan antara pengetahuan keahlian (yang utamanya diperoleh melalui pengalaman) dan pengetahuan yang sistematis (yang utamanya diperoleh melalui studi sistematis dalam perguruan tinggi dan universitas), focus kami pada pengembangan konsepsi PMTS dalam mode sistematis, melalui partisipasi dalam sesi perkuliahan problem solving, dan dalam mode keahlian, melalui kerja individu dengan murid sekolah dasar ketika melakukan pekerjaan rumah.

4.        Kesimpulan
Penelitian ini mengeksplorasi pengembangan konsepsi PMTS melalui pekerjaan soal multi penyelesaian (MSTS) selama perkuliahan “problem solving' pada program pendidikan guru. Dalam penelitian ini, kami menganalisis perkembangan konsepsi matematika pada guru melalui lensa kompetensi pemecahan masalah PMTS seperti yang diungkapkan dalam: (a) strategi PMTS yang digunakan dalam memecahkan masalah matematika dasar dan (b) kemampuan mereka untuk menghasilkan beberapa solusi untuk masalah-masalah. Pengembangan meta-matematika dan konsepsi pedagogis guru diperiksa dengan analisis pemberian skor PMTS tentang tingkat minat dan tingkat kesulitan masalah yang mereka pecahkan. Seiring dengan penelitian Leikin dan Levav Waynberg (2008, 2009), yang menunjukkan bahwa MSTS adalah alat pengembangan professional yang efektif dalam praktek guru pendidikan matematika sekolah menengah, kita lebih lanjut menunjukkan bahwa MSTS berguna dalam pendidikan calon guru matematika dasar, berdasarkan temuan yang akan dibahas di bawah ini.
a.       Fleksibilitas dalam matematika dan mengajar matematika
Kami telah menunjukkan bahwa kompetensi pemecahan masalah  pada guru telah berkembang selama perkuliahan. Guru menjadi lebih sukses dalam memecahkan masalah, dan, apalagi, saat memecahkan masalah, mereka mulai menggunakan strategi pemecahan masalah yang lebih maju. Fakta bahwa mereka kurang sering menggunakan strategi trial-and-error dan mulai menghubungkan masalah-masalah dasar dengan konsep-konsep dan sifat matematika menunjukkan bahwa pengetahuan mereka telah menjadi lebih terhubung. PMTS mengembangkan kemampuan mereka untuk menghasilkan beberapa solusi untuk satu masalah tertentu dan dengan demikian meningkatkan fleksibilitas mental mereka serta (berdasarkan Leikin dan Dinur 2007) potensi mereka untuk memantauan secara fleksibel diskusi matematika di kelas mereka.

b.      Konvensionalitas soal
Kami menemukan bahwa dua komponen utama memberikan kontribusi untuk pengembangan profesional guru selama perkuliahan. Pertama, MSTS tidak konvensional untuk PMTS, dan persyaratan untuk menghasilkan beberapa solusi adalah tidak biasa dan sulit. Persyaratan untuk memecahkan masalah dalam berbagai cara meningkatkan tantangan matematika pada soal. Dalam salah satu tulisan refleksi oleh PMTS, kami menemukan pernyataan berikut:
Soal [memecahkan masalah dalam beberapa cara] perlu menghabiskan waktu pada berpikir. Bagi saya itu bukan soal matematika biasa. Saya mulai mengumpulkan materi matematika [di buku], mencari formula yang terhubung kepada masalah dan hal ini memungkinkan saya untuk melakukan penyelesaian.
Kedua, dengan mengalami kesulitan dan mengatasinya, PMTS yakin bahwa soal bisa dipecahkan.
Dengan pengalaman belajar yang positif (Tzur 2010) memungkinkan guru untuk mengembangkan baik pengetahuan matematika maupun pedagogis serta keyakinan mereka. Kami berpendapat bahwa kombinasi ini didasarkan pada sifat menantang dari soal matematika yang ditujukan untuk PMTS yang sedang mengambil bagian dalam perkuliahan kami. Disertai kemajuan dalam keahlian pemecahan masalah mereka, sikap PMTS terhadap MST telah bergeser dari negatif ke positif, dari mengabaikan persyaratan memecahkan masalah dengan cara yang berbeda terhadap keyakinan bahwa ini adalah cara yang efektif untuk belajar, baik untuk guru dan siswa mereka.

c.       Mengembangkan pengetahuan pada siswa dengan prestasi rendah dan tinggi
Salah satu kontribusi yang signifikan dari penelitian kami adalah bahwa ada perubahan ganda pada pengetahuan  PMTS dinyatakan dengan perbaikan substansial pada peserta dengan prestasi  rendah, disertai dengan peningkatan kesenjangan antara mereka dan peserta berprestasi tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa melalui MSTS baik PMTS berprestasi tinggi (kelompok A) dan berprestasi rendah (kelompok B) keduanya mengembangkan keahlian pemecahan masalah  mereka secara signifikan selama perkuliahan.


C.      Latar Belakang Masalah
Matematika merupakan salah satu ilmu yang berperan penting dalam pendidikan karena dapat diterapkan ke dalam berbagai bidang kehidupan. Pola pikir matematika pun menjadi andalan dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Mengingat pentingnya matematika, maka perlu adanya usaha yang bertujuan untuk selalu meningkatkan kualitas dan hasil pembelajaran matematika. Untuk meningkatkan kualitas dan hasil pembelajaran matematika, seorang guru harus mempunyai wawasan yang luas tentang berbagai metode atau pun strategi pembelajaran. Pembelajaran yang terpusat oleh guru sebaiknya diubah menjadi pembelajaran yang terpusat kepada siswa. Pembelajaran yang tidak berpusat pada guru membantu siswa untuk membangun sendiri pemahamannya sedangkan guru berperan sebagai fasilitator. Guru seharusnya mampu menciptakan situasi belajar yang dapat membuat semua siswa untuk berperan aktif dalam proses belajar dan menfasilitasi siswa untuk mengkonstruksikan konsep-konsep yang dipelajarinya. Untuk mencapai kondisi tersebut, seorang guru harus mampu memilih, melaksanakan, dan mengembangkan metode pembelajaran yang ada.
Oleh karena itu penulis mempunyai inisiatif untuk menerapkan suatu pendekatan pembelajaran dalam kelas yang digabungkan dengan pembelajaran kooperatif. Secara lebih spesifik, pendekatan yang dipilih adalah pendekatan pemecahan masalah (problem solving). Salah satu tujuan pengajaran melalui pemecahan masalah adalah untuk mendorong siswa untuk memperbaiki dan membangun sebuah proses dalam periode waktu dimana siswa melakukan sendiri proses tersebut untuk menemukan beberapa ide untuk menjadi sebuah kesadaran pada kemungkinan yang lebih (Carpenter dalam NCTM 1989). Dengan menggunakan pendekatan ini siswa akan lebih bertanggung jawab atas pembelajaran yang mereka lakukan sendiri dan siswa dapat menjadi lebih yang terlibat dalam pemecahan masalah dengan merumuskan dan memecahkan masalah mereka sendiri, atau dengan menulis kembali masalah dalam kata-kata sendiri guna memudahkan pemahaman.
Dari kajian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan pendekatan problem solving dapat merangsang siswa untuk mengembangkan pengetahuannya dengan cara yang lebih mudah dipahami, berkembang dari yang sederhana hingga menuju pengetahuan yang lebih kompleks. Artinya, tahapan dalam menguasai materi yang diajarkan tergantung dari siswa itu sendiri, guru tidak menuntut seluruh siswa untuk mencapai hasil pembelajaran yang setara. Dengan kemampuan berpikir siswa yang berbeda-beda (heterogen), pendekatan pembelajaran pemecahan masalah (problem solving) akan semakin memungkinkan siswa untuk memperlihatkan individualistis mereka. Siswa cenderung berkompetisi secara individual, bersikap tertutup terhadap teman, kurang memberi perhatian pada teman sekelas, bergaul hanya dengan orang tertentu, ingin menang sendiri, dan sebagainya. Sehingga perlu diterapkan suatu model pembelajaran yang mampu mengatasi masalah tersebut, yakni salah satunya dengan menerapkan pembelajaran kooperatif dalam proses kegiatan belajar mengajar di kelas.
Situasi kompetitif merupakan bagian dari siswa untuk mencapai tujuan kelompok, siswa harus merasakan bahwa mereka akan mencapai tujuan jika dan hanya jika terdapat kebersamaan dalam kelompoknya. Hasilnya adalah siswa yang sebelumnya merasa kurang akan termotivasi untuk menjadi lebih baik, karena tidak ingin kegagalannya akan menjadi kegagalan kelompoknya. Jika suasana ini tercipta dalam pembelajaran, maka diharapkan semua siswa akan berlomba-lomba untuk tidak gagal yang pada gilirannya akan dihasilkan siswa yang mau bekerja keras untuk mencapai tujuan. Melalui sistem pengelompokan kecil dalam pembelajaran kooperatif, memberikan kesempatan bagi siswa dalam mengembangkan interaksi sosial serta meningkatkan sikap saling membantu dalam kerja sama untuk membantu anggota kelompok yang masih mengalami kesulitan dalam proses belajar, sehingga siswa tidak hanya belajar terbatas pada kemampuan diri sendiri saja.
Pembelajaran dengan pendekatan penyelesaian masalah mempunyai keterkaitan dengan kemampuan pemahaman konsep dan komunikasi matematis siswa. Hal itu terlihat dalam langkah-langkah penyelesaian masalah. Ada empat langkah dalam penyelesaian masalah (problem solving), yaitu memahami, merencanakan, menyelesaikan, dan memeriksa kembali hasil penyelesaian masalahnya. Pada langkah penyelesaian masalah tersebut, jelas terlihat bahwa siswa harus memiliki kemampuan pemahaman konsep dan komunikasi matematis untuk menyelesaikan masalah. Pada tahap memahami dan merencanakan, siswa dituntut untuk mengolah pemahamannya tentang konsep persoalan yang tersaji dan mengaitkannya dengan materi yang sudah dipelajari dengan persoalan tersebut. Kemudian dalam proses penyelesaian masalahnya, siswa menggunakan kemampuan komunikasi matematisnya, yaitu untuk mengkomunikasikan perencanaan tersebut.
Dari kajian di atas, maka akan dilakukan penelitian untuk membuktikan bahwa dengan penggunaan LKS berbasis problem solving melalui pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan minat dan kemampuan pehamahan konsep matematika siswa.
D.      Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, dapat diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut:
1.        Siswa masih belum terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran.
2.        Kurangnya pemahaman konsep siswa terhadap materi yang dipelajari.
3.        Pelaksanaan pembelajaran matematika yang dilaksanakan masih berpusat kepada guru (teacher centered), sehingga kurang efektif.

E.       Pembatasan Masalah
Mengingat keterbatasan kemampuan peneliti, penelitian ini dibatasi pada pembelajaran matematika dalam upaya meningkatkan minat dan pemahaman konsep matematika dengan menggunakan LKS berbasis problem solving melalui model pembelajaran kooperatif .

F.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka disusun rumusan masalah sebagai berikut: “Apakah ada peningkatan minat dan pemahaman konsep matematika siswa setelah dilakukan pembelajaran dengan menggunakan LKS berbasis problem solving melalui pembelajaran kooperatif?”

G.      Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan minat dan pemahaman konsep matematika siswa dengan menggunakan LKS berbasis problem solving melalui pembelajaran kooperatif.



No comments:

Post a Comment