Monday, 22 February 2016

“Pengembangan Scaffolding bagi Low-achievingstudent (LAS) untuk Mengatasi Kesulitan Belajar Matematika di Sekolah Inklusi”

“Pengembangan Scaffolding bagi Low-achievingstudent (LAS) untuk  Mengatasi Kesulitan Belajar Matematika di Sekolah Inklusi”

Pendahuluan
Sejak penetapan keputusan dalam konferensi PBB tahun 2006 yang menyatakan hak persamaan bagi seseorang yang berkebutuhan khusus (Pfister, Opitz, dan Pauli: 2015, 1079), negara-negara di dunia mulai menetapkan kebijakan kelas inklusi di sekolah-sekolah reguler. Dimana anak dengan kebutuhan khusus (SEN: Special Education Student) memiliki perlakuan dan hak yang sama dalam kelas umum, belajar bersama anak-anak dengan kemampuan normal lainnya. Disini peran guru semakin bertambah, dengan harus menguasai keahlian untuk mengajarkan anak SEN. Guru dituntut untuk menemukan model, metode, pendekatan yang dapat membantu tidak hanya siswa normal tetapi juga siswa SEN dalam memahami materi matematika yang sedang dipelajari. Sejak beberapa tahun lalu ahli Vygotsky telah mengemukakan socio-kontruktivism, yang menjabarkan scaffolding untuk membantu siswa mencapai zone of proximal (ZPD). Untuk itu guru harus memiliki ilmu scaffolding baik micro-macro scaffolding. Dalam (Pfister, et all: 2015) disebutkan bahwascaffolding merupakan alat yang penting dalam memberikan tantangan pembelajaran pada kelas inklusi.

Karakteristik dari Low-achievingstudent (LAS)
(Baker et al. 2002), menyatakan berdasarkan penelitian meta-analisis, low-achieving students (LAS)dapat diidentifikasi berdasarkan dua faktor, yaitu laporan guru dan KKM atau test informal yang diujikan, siswa yang memiliki nilai dibawah 50% dari nilai standar didiagnosa memiliki kesulitan belajar. Dalam artikel ini, LAS merupakan siswa yang memiliki nilai rata-rata dibawah rata-rata nilai kelas selain itu artikel ini hanya berfokus pada rendahnya hasil belajar LAS, berdasarkan kekurangan kognitif dan sikap terhadap matematika berdasarkan kegagalan dalam belajar matematika. (Gray, Pitta and Tall 2000) menyatakan LAS memiliki kesulitan untuk mengingat dan memahami materi-materi dasar matematika. Craik (2002) menyebut LAS memiliki
‘fragile memory’, kedangkalan dalam memproses informasi yang dipelajari. LAS memiliki kesulitan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan sederhana dan materi penjumlahan dan pengurangan yang lebih komplek. Kesulitan ini yang menyebabkan LAS memiliki hasil pembelajaran yang tidak memuaskan serta sering membuat kesalahan dalam penyelesaian materi matematika. Untuk itu LAS membutuhkan bantuan dari guru berupa scaffolding yang akan menantang dan menggali potensi LAS. Karena LAS cenderung lebih mudah memahami persoalan yang bersifat kontekstual maka akan lebih bermakna bagi mereka bila menggunakan aspek dan tahapan scaffolding dalam mengatasi permasalahan LAS dalam pembelajaran matematika.

Scaffolding
Menurut (Wood et al, 1976, h. 90), scaffolding merupakan “...proses yang memungkinkan anak atau pemula untuk memecahkan masalah, atau melaksanakan tugas atau mencapai tujuan yang akan melampaui dari batas upayanya”. Sementara Wood, Bruner and Ross (1976) menyatakan
“novice to [...] carry out a task [...] beyond his unas-sisted efforts. This scaffolding consists essentially of the adult ‘controlling’ those elements [...] initially beyond the learner’s capacity, thus permitting him to concentrate upon [...] those elements [...] within his range of competence” (p. 90).
Dalam pembelajaran guru menafsirkan perilaku belajar dan membuat keputusan tentang yang merangsang tugas (untuk digunakan, apakah dan kapan untuk campur tangan dan memberi bantuan/dukungan, dan berapa banyak dan apa jenis bantuan yang diperlukan). Scaffolding merupakan suatu metode untuk mengapatasi pembelajaran bagi siswa dengan kebutuhan khusus di dalam kelas.

Van de Pol (2010, p. 274) mengilustrasikan model dari scaffoldingsebagai berikut.
Jenis-Jenis Scaffolding
Van de Pol (2010) mengemukakanjenis-jenis scaffolding yang dapat digunakan dalam proses pembelajaran (p.273):
       Feeding back (Umpat balik): menyediakan informasi mengenai apa yang harus siswa lakukan
       Memberikan petunjuk: menyediakan petunjuk atau saran
       Instruksi: apa yang harus dilakukan atau bagaimana sesuatu harus dilakukan
dan mengapa
       Menjelaskan: menyediakan informasi yang lebih rinci atau klarifikasi
       Pemodelan: Menawarkan perilaku untuk imitasi
       Menanya: menyediakan pertanyaan yang membutuhkan bahasa aktif dan jawaban kognitif

Level Scaffolding

Menurut Hammond and Gibbons (2005)  ada dua tingkatan dari scaffolding, yaitu  macro-scaffolding  dan  micro-scaffolding.Micro-scaffolding : micro-scaffolding,which is contingent interaction in response to theteaching and learning opportunities. Hammond and Gibbons menyatakan micro-scaffolding diberikan dalam bentuk interaksi dari seseorang yang memeliki keahlian lebih (misalnya, guru, ibu, dll) secara “one on one” kepada seseorang dalam hal pendidikann, yaitu siswa. Ribuan ahli peduli terhadap pentingnya scaffolding sehingga mereka mulai mengembangan riset dan menerapkan scaffolding di sekolahh-sekolah, hal ini memunculkan teori baru bahwa penerapan scaffolding tidak hanya secara “one on one” tetapi sudah “whole-class”. Istilah interaksi scaffolding “whole class” disebut dengan macro-scaffolding, scaffolding yang mencakup perencanaan, pengaturan tujuan belajar, pengorganisasian kelas, pemilihan bahan ajar, dan aturan pemberian kelas (Pfister  et all, p.1081). 

Tahapan/Aspek Scaffolding
Dalam (Pfister  et all, p.1081) disebutkan beberapa “facets” dalam scaffolding yang diidentifikasi memiliki kualitas mencapai yang baik bagi siswa yang memiliki kemampuan kurang (LAS). Berikut beberapa aspek scaffolding sebagai berikut.
          Cognitive activation (Aktivasi Kognitif)
Menurut Batu (1998, hal. 353), "disituasi ini, anak diarahkan untuk berpartisipasi  dalam Kegiatan yang maknanya penuh belum dipenuhi (dipahami). Jadi dalam kondisi ini, siswa belum pernah mempelajari subbab materi tertentu sebelumnya. Siswa yang menjadi penggerak penuh (student-center) untuk memahami suatu materi dengan keterlibatannya dalam suatu aktifitas yang dirancang guru. Semakin banyak siswa berpartisipasi, semakin banyak tanggung jawab untuk proses pembelajaran akan ditransfer ke mereka.
Alat penting untuk proses aktivasi kognitif, yaitu penyajian kembali atau ringkasan yang diberikan guru mengenai apa yang telah dilakukan atau dikatakan di kelas, ini seperti bentuk evaluasi di akhir pembelajaran. (Williams dan Baxter, 1996). (Lepper et al. 1997) menekankan bahwa pada tahap pengaktivasian kognisi, scaffolding yang diberikan sebaiknya berupa pertanyaan meminta, daripada memberikan arah.
          Stimulating Discourse (Merangsang Wacana)
Krammer (2009) mengemukakan bahwan Interaksi antara guru dan siswa dan antara siswa yang penting dalam rangka mencapai aktivasi kognitif. Williams dan Baxter (1996) scaffolding sebagai inti unsur wacana-berorientasi pembelajaran "... untuk menggambarkan tindakan yang diambil oleh seorang guru yang mendukung terciptanya pengetahuan matematika melalui komunikasi/diskusi di kalangan siswa “ (h. 22).
          Handling errors productively (Penanganan kesalahan secara produktif)
Pada kondisi awal dari komunikasi/interaksi antara guru dan siswa sering terjadi kesalahpahaman atau kesalahan. Menurut sebuah studi oleh Lepper
et al. (1997), guru terbaik tampaknya menanggapi kesalahan siswa berbeda dari guru-guru yang lain.Para penulis menekankan bahwa guru harus tahu manfaat "Teknik" untuk mengatasi kesalahan dan kesalahpahaman (misalnya kesalahan men-debug dengan mengajukan pertanyaan terkemuka atau menawarkan petunjuk untuk mendorong siswa untuk mengidentifikasi dan memperbaiki kesalahan oleh diri). Pada tahapan ini, scaffolding yang diberikan diarahkan dapat membantu siswa mengatasi kesalahannya sendiri pada materi matematika tertentu.
          Target orientation (Berorientasi pada target)
Scaffolding selalu melibatkan pemilihan bahan pembelajaran dan tugas yang sesuai atau masalah matematika (Applebee dan Langer 1983; Krammer 2009; Lepper dkk. 1997). Guru harus menggunakan pertanyaan yang tepat, petunjuk, dan penjelasan untuk menarik perhatian siswa untuk contoh pembelajaran yang dipilih melalui konsep kunci atau "ide-ide matematika“ (Williams dan Baxter 1996).
          Using manipulatives (Menggunakan Manipulasi)
Dalam pembelajaran matematika menyajikan masalah merupakan hal yang sangat penting.Guru harus memutuskan bagaimana untuk menyajikan masalah kepada siswa, dan untuk memutuskan contoh yang cocok, manipulatif, dan representasi (Lepper et al. 1997). Pencapaian yang rendah pada mata pelajaran matematika, memerlukan representasi aktif fakta melalui penggunaan manipulatif  untuk menyelesaikan masalah yang ada (lih Sect. 2.1). Penggunaan manipulatif lebih mempermudah siswa dalam memahami materi pembelajaran yang sedang di pelajari, selain itu dapat meminimalir kecemasan siswa terhadap matematika yang lebih sering didominasi dengan simbol-simbol abstrak.
Konsep dari scaffolding telah dikembangkan melalui interaksi “one to one” antara guru dan siswa, namun sekarang scaffolding lebih di perluas dengan pengamplikasisan pada keseluruhan situasi kelas. Yang perlu disadari bahwa penting scaffolding digunakan dalam situasi kelas inklusi untuk membantu LAS dalam mencapai ZPD. Pada artikel ini, penulis menyarankan bagaimana mendorong guru untuk dapat menggunakan scaffolding dalam proses pembelajaran serta memberikan informasi kepada pihak-pihak terkait terutama pemerintah untuk dapat memberikan pelatihan demi peningkatan kemampuan guru dapat membuat scaffolding.



Referensi

Susanne Prediger & Birte Pöhler (2015)The interplay of micro and macroscaffolding: an empirical reconstruction for the case of an intervention on percentages, 47:1179–1194, DOI 10.1007/s11858-015-0723-2

Orit Broza & Yifat BenDavid Kolikant (2015) Contingent teaching to lowachieving students in mathematics: challenges and potential for scaffolding meaningful learning, 47:1093–1105, DOI 10.1007/s11858-015-0724-1

Mirjam Pfister, Elisabeth Moser Opitz & Christine Pauli (2015) Scaffolding for mathematics teaching in inclusive primary classrooms: a video study, 47:1079–1092, DOI 10.1007/s11858-015-0713-4



No comments:

Post a Comment