“Pengembangan Scaffolding bagi Low-achievingstudent (LAS) untuk
Mengatasi Kesulitan Belajar Matematika di Sekolah Inklusi”
Pendahuluan
Sejak penetapan
keputusan dalam konferensi PBB tahun 2006 yang menyatakan hak persamaan bagi
seseorang yang berkebutuhan khusus (Pfister, Opitz, dan Pauli: 2015, 1079), negara-negara di dunia mulai
menetapkan kebijakan kelas inklusi di sekolah-sekolah reguler. Dimana anak
dengan kebutuhan khusus (SEN: Special
Education Student) memiliki perlakuan dan hak yang sama dalam kelas umum,
belajar bersama anak-anak dengan kemampuan normal lainnya. Disini peran guru
semakin bertambah, dengan harus menguasai keahlian untuk mengajarkan anak SEN.
Guru dituntut untuk menemukan model, metode, pendekatan yang dapat membantu
tidak hanya siswa normal tetapi juga siswa SEN dalam memahami materi matematika
yang sedang dipelajari. Sejak beberapa tahun lalu ahli Vygotsky telah
mengemukakan socio-kontruktivism, yang menjabarkan scaffolding untuk membantu
siswa mencapai zone of proximal (ZPD). Untuk itu guru harus memiliki ilmu scaffolding baik micro-macro scaffolding. Dalam (Pfister, et all: 2015) disebutkan
bahwascaffolding merupakan alat yang
penting dalam memberikan tantangan pembelajaran pada kelas inklusi.
Karakteristik dari Low-achievingstudent (LAS)
(Baker et al. 2002), menyatakan berdasarkan
penelitian meta-analisis, low-achieving
students (LAS)dapat diidentifikasi berdasarkan dua faktor, yaitu laporan
guru dan KKM atau test informal yang diujikan, siswa yang memiliki nilai
dibawah 50% dari nilai standar didiagnosa memiliki kesulitan belajar. Dalam
artikel ini, LAS merupakan siswa yang memiliki nilai rata-rata dibawah
rata-rata nilai kelas selain itu artikel ini hanya berfokus pada rendahnya hasil
belajar LAS, berdasarkan kekurangan kognitif dan sikap terhadap matematika
berdasarkan kegagalan dalam belajar matematika. (Gray, Pitta and Tall 2000)
menyatakan LAS memiliki kesulitan untuk mengingat dan memahami materi-materi
dasar matematika. Craik (2002) menyebut LAS memiliki
‘fragile memory’, kedangkalan dalam memproses informasi
yang dipelajari. LAS memiliki kesulitan
untuk menyelesaikan persoalan-persoalan sederhana dan materi penjumlahan dan
pengurangan yang lebih komplek. Kesulitan ini yang menyebabkan LAS memiliki
hasil pembelajaran yang tidak memuaskan serta sering membuat kesalahan dalam
penyelesaian materi matematika. Untuk itu LAS membutuhkan bantuan dari guru
berupa scaffolding yang akan menantang dan menggali potensi LAS. Karena LAS cenderung
lebih mudah memahami persoalan yang bersifat kontekstual maka akan lebih
bermakna bagi mereka bila menggunakan aspek dan tahapan scaffolding dalam
mengatasi permasalahan LAS dalam pembelajaran matematika.
Scaffolding
Menurut (Wood et al, 1976,
h. 90), scaffolding merupakan
“...proses yang memungkinkan anak atau pemula untuk memecahkan masalah, atau
melaksanakan tugas atau mencapai tujuan yang akan melampaui dari batas
upayanya”. Sementara Wood, Bruner and
Ross (1976) menyatakan
“novice to [...] carry out a task
[...] beyond his unas-sisted efforts. This scaffolding consists essentially of
the adult ‘controlling’ those elements [...] initially beyond the learner’s
capacity, thus permitting him to concentrate upon [...] those elements [...]
within his range of competence” (p. 90).
Dalam pembelajaran
guru menafsirkan perilaku belajar dan membuat keputusan tentang yang merangsang
tugas (untuk digunakan, apakah dan kapan untuk campur tangan dan memberi
bantuan/dukungan, dan berapa banyak dan apa jenis bantuan yang diperlukan). Scaffolding merupakan suatu metode untuk mengapatasi
pembelajaran bagi siswa dengan kebutuhan khusus di dalam kelas.
Van
de Pol (2010, p. 274) mengilustrasikan model dari scaffoldingsebagai berikut.

Jenis-Jenis Scaffolding
Van
de Pol (2010) mengemukakanjenis-jenis scaffolding
yang dapat digunakan dalam proses pembelajaran (p.273):
• Feeding back (Umpat balik): menyediakan informasi
mengenai apa yang harus siswa lakukan
• Memberikan petunjuk:
menyediakan petunjuk atau saran
• Instruksi: apa yang harus dilakukan
atau bagaimana sesuatu harus dilakukan
dan mengapa
dan mengapa
• Menjelaskan: menyediakan informasi
yang lebih rinci atau klarifikasi
• Pemodelan: Menawarkan perilaku untuk
imitasi
• Menanya: menyediakan pertanyaan yang
membutuhkan bahasa aktif dan jawaban kognitif
Level Scaffolding
Menurut Hammond and Gibbons (2005) ada dua tingkatan dari scaffolding, yaitu macro-scaffolding dan micro-scaffolding.Micro-scaffolding : micro-scaffolding,which is contingent interaction in
response to theteaching and learning opportunities. Hammond and Gibbons
menyatakan micro-scaffolding diberikan dalam bentuk interaksi dari seseorang
yang memeliki keahlian lebih (misalnya, guru, ibu, dll) secara “one on one”
kepada seseorang dalam hal pendidikann, yaitu siswa. Ribuan ahli peduli
terhadap pentingnya scaffolding sehingga mereka mulai mengembangan riset dan
menerapkan scaffolding di sekolahh-sekolah, hal ini memunculkan teori baru
bahwa penerapan scaffolding tidak hanya secara “one on one” tetapi sudah
“whole-class”. Istilah interaksi scaffolding “whole class” disebut dengan macro-scaffolding,
scaffolding yang mencakup perencanaan, pengaturan tujuan belajar,
pengorganisasian kelas, pemilihan bahan ajar, dan aturan pemberian kelas (Pfister et all, p.1081).
Tahapan/Aspek Scaffolding
Dalam (Pfister
et all, p.1081) disebutkan beberapa “facets” dalam scaffolding yang
diidentifikasi memiliki kualitas mencapai yang baik bagi siswa yang memiliki
kemampuan kurang (LAS). Berikut beberapa aspek scaffolding sebagai berikut.
•
Cognitive activation (Aktivasi Kognitif)
Menurut
Batu (1998, hal. 353), "disituasi ini, anak diarahkan untuk
berpartisipasi dalam Kegiatan yang
maknanya penuh belum dipenuhi (dipahami). Jadi dalam kondisi ini, siswa belum
pernah mempelajari subbab materi tertentu sebelumnya. Siswa yang menjadi penggerak
penuh (student-center) untuk memahami suatu materi dengan keterlibatannya dalam
suatu aktifitas yang dirancang guru. Semakin banyak siswa berpartisipasi,
semakin banyak tanggung jawab untuk proses pembelajaran akan ditransfer ke
mereka.
Alat
penting untuk proses aktivasi kognitif, yaitu penyajian kembali atau ringkasan
yang diberikan guru mengenai apa yang telah dilakukan atau dikatakan di kelas,
ini seperti bentuk evaluasi di akhir pembelajaran. (Williams dan Baxter, 1996).
(Lepper et al. 1997) menekankan bahwa pada tahap pengaktivasian kognisi,
scaffolding yang diberikan sebaiknya berupa pertanyaan meminta, daripada
memberikan arah.
•
Stimulating Discourse (Merangsang Wacana)
Krammer
(2009) mengemukakan bahwan Interaksi antara guru dan siswa dan antara siswa
yang penting dalam rangka mencapai aktivasi kognitif. Williams dan Baxter
(1996) scaffolding sebagai inti unsur wacana-berorientasi pembelajaran
"... untuk menggambarkan tindakan yang diambil oleh seorang guru yang
mendukung terciptanya pengetahuan matematika melalui komunikasi/diskusi di
kalangan siswa “ (h. 22).
•
Handling
errors productively
(Penanganan kesalahan secara produktif)
Pada
kondisi awal dari komunikasi/interaksi antara guru dan siswa sering terjadi
kesalahpahaman atau kesalahan. Menurut sebuah studi oleh Lepper
et al. (1997), guru terbaik tampaknya menanggapi kesalahan siswa berbeda dari guru-guru yang lain.Para penulis menekankan bahwa guru harus tahu manfaat "Teknik" untuk mengatasi kesalahan dan kesalahpahaman (misalnya kesalahan men-debug dengan mengajukan pertanyaan terkemuka atau menawarkan petunjuk untuk mendorong siswa untuk mengidentifikasi dan memperbaiki kesalahan oleh diri). Pada tahapan ini, scaffolding yang diberikan diarahkan dapat membantu siswa mengatasi kesalahannya sendiri pada materi matematika tertentu.
et al. (1997), guru terbaik tampaknya menanggapi kesalahan siswa berbeda dari guru-guru yang lain.Para penulis menekankan bahwa guru harus tahu manfaat "Teknik" untuk mengatasi kesalahan dan kesalahpahaman (misalnya kesalahan men-debug dengan mengajukan pertanyaan terkemuka atau menawarkan petunjuk untuk mendorong siswa untuk mengidentifikasi dan memperbaiki kesalahan oleh diri). Pada tahapan ini, scaffolding yang diberikan diarahkan dapat membantu siswa mengatasi kesalahannya sendiri pada materi matematika tertentu.
•
Target orientation (Berorientasi pada target)
Scaffolding selalu melibatkan pemilihan bahan
pembelajaran dan tugas yang sesuai atau masalah matematika (Applebee dan Langer
1983; Krammer 2009; Lepper dkk. 1997). Guru harus menggunakan pertanyaan yang
tepat, petunjuk, dan penjelasan untuk menarik perhatian siswa untuk contoh
pembelajaran yang dipilih melalui konsep kunci atau "ide-ide matematika“
(Williams dan Baxter 1996).
•
Using manipulatives (Menggunakan Manipulasi)
Dalam
pembelajaran matematika menyajikan masalah merupakan hal yang sangat
penting.Guru harus memutuskan bagaimana untuk menyajikan masalah kepada siswa,
dan untuk memutuskan contoh yang cocok, manipulatif, dan representasi (Lepper
et al. 1997). Pencapaian yang rendah pada mata pelajaran matematika, memerlukan
representasi aktif fakta melalui penggunaan manipulatif untuk menyelesaikan masalah yang ada (lih
Sect. 2.1). Penggunaan manipulatif lebih mempermudah siswa dalam memahami
materi pembelajaran yang sedang di pelajari, selain itu dapat meminimalir
kecemasan siswa terhadap matematika yang lebih sering didominasi dengan
simbol-simbol abstrak.
Konsep dari scaffolding telah dikembangkan melalui interaksi “one to one”
antara guru dan siswa, namun sekarang scaffolding lebih di perluas dengan
pengamplikasisan pada keseluruhan situasi kelas. Yang
perlu disadari bahwa penting scaffolding digunakan dalam situasi kelas inklusi
untuk membantu LAS dalam mencapai ZPD. Pada artikel ini, penulis menyarankan
bagaimana mendorong guru untuk dapat menggunakan scaffolding dalam proses pembelajaran serta memberikan informasi
kepada pihak-pihak terkait terutama pemerintah untuk dapat memberikan pelatihan
demi peningkatan kemampuan guru dapat membuat scaffolding.
Referensi
Susanne Prediger & Birte Pöhler
(2015)The interplay of micro‑ and macro‑scaffolding: an empirical reconstruction for the case of an intervention
on percentages, 47:1179–1194, DOI
10.1007/s11858-015-0723-2
Orit Broza & Yifat Ben‑David Kolikant (2015) Contingent teaching to low‑achieving students in mathematics: challenges and potential for
scaffolding meaningful learning, 47:1093–1105,
DOI 10.1007/s11858-015-0724-1
Mirjam Pfister, Elisabeth Moser Opitz &
Christine Pauli (2015) Scaffolding for mathematics teaching in inclusive
primary classrooms: a video study, 47:1079–1092,
DOI 10.1007/s11858-015-0713-4
No comments:
Post a Comment