A.
Latar Belakang
Terlepas dari beberapa tahun terakhir mengenai
pengajaran matematika yaitu pendekatan Realistic Mathematics Education (RME)
dari Belanda, pendekatan Open-Ended dari Jepang, dan pendekatan
kontekstual dari Amerika Serikat. Dalam NCTM 2000 terdapat lima kemampuan dasar
matematika yang merupakan standar yakni pemecahan masalah (problem solving),
penalaran dan bukti (reasoning and proof), komunikasi (communication),
koneksi (connections), dan representasi (representation). Berdasarkan
Standar NCTM mengenai pengajaran dan pembelajaran matematika perlunya
pengajaran dimana pembelajaran matematika yang efektif membutuhkan pemahaman
tentang apa yang siswa tahu dan perlu untuk belajar dan kemudian memberikan
tantangan dan dukungan kepada mereka untuk mempelajri secara baik dan untuk
pembelajaran dimana siswa harus mempelajari matematika dengan pemahaman,
membangun pengetahuan yang baru secara aktif dari pengalaman dan pengetahuan
sebelumnya. Permasalahan yang terjadi di Indonesia lebih kepada belajar
pembelajarannya, ditinjau dari jurnal “Reforming
mathematics learning in Indonesian classrooms through RME” didapat
bahwa:Beberapa peneliti atau pendidik telah mengetahui kelemahan pada
pembelajaran matematika khusus di sekolah dasar: para siswa menemukan kesulitan
untuk memahami dan membangun konsep
matematika dan menyelesaikan gambaran matematika dari masalah kontekstual dan
cara mengajar membuat matematika lebih sulit untuk dipelajari dan dimengerti.Para
siswa menjadi ketakutan terhadap matematika (Haji 1994; Jailani 1990). Berdasarkan
fakta tersebut, pertanyaannya apa yang harus digantikan mengenai pengajaran
tradisional muncul.Banyak guru menjadi percaya bahwa matematika modern telah
menyulitkan siswa mereka, dan seringnya para guru mengajar melalui cara yang
dipercaya hamper semuanya pada buku teks. Di kelas, siswa mengikuti buku teks
halaman per halaman, tanpa menyadari kebenaran atau paling tidak pelajaran
matematika yang mereka tulis di buku
mereka (soemerset 1997). Sebagai hasil, belajar mengajar matematika di
sekolahan Indonesia menjadi mekanistik, dengan para guru yang cenderung mendikte
formula/rumus dan prosedur/langkah ke siswa mereka (Armanto 2002, Fauzan 2002,
Hadi 2002). Metode ceramah mempengaruhi sikap siswa. Siswa diharapkan belajar
matematika dengan cara yang pasif dan, tetapi
beberapa jarang mempelajari semua itu. Banyak siswa terbiasa menjadi
penerima dari guru mereka dan jarang bertanya untuk berfikir kreatif atau
kritikal tentang apa yang sedang mereka pelajari.
Berikut ini
merupakan hasil dari observasi di sekolah dasar di Surabaya, jawa timur, yang
menggambarkan cara biasa dalam pengajaran matematika di Indonesia (Fauzan
2002,p 2).Guru menulis sebuah masalah/soal perkalian dengan dua digit angka
pada papan tulis dan mulai menyelesaikanny sendiri. Dalam penyelesaian masalah,
guru melakukan hal tersebut dengan bertanya dan menulis sekaligus. Terkadang
guru bertanya ke siswa mengenai hasil pada langkah penyelesaian, dan siswa
memberikan jawaban serempak, guru memberikan respon dengan mengatakan “good
atau bagus” kapanpun siswa menjawab dengan benar, namun guru tidak mengomentari
jika respon yang diberikan siswa itu salah. Guru kemudian menyelesaikan
masalah/soal tersebut. Guru mengulang proses dan diakhir guru menanyakan
pertanyaan yang sama untuk mengecek bahwa siswa mengerti atau tidak. Suara
mengatakan “Ya” sangat besar dan guru terlihat puas.Penelitian diadakan/dilakukan
oleh Armanto (2002) menyatakan dampak dari cara mengajar ini. Dia mengobservasi
beberapa kesalahankonsep pada bagian pada siswa yang melakukan prosedur setelah
mempelajari algoritme biasa/standar. Beberapa guru berpendapat bahwa siswa
dapat mengerti dan mengaplikasikan algoritma dengan mudah untuk menyelesaikan
masalah. Pernyataan ini hampir tidak benar karena dalam menjawab sebuah soal
konsep perkalian diatur oleh guru dengan mengikuti contoh, hanya 1-3 orang
siswa dapat menyelesaikan masalah dengan benar, dan selebihnya siswa mengalami
kesulitan dengan ide/pikiran mengenai algoritma perkalian.Banyak pendidik
matematika Indonesia merasa bahwa baik-buruk, pendekatan pembelajaran
tradisional di matematka sekolah tidak hanya mempengaruhi dengan kurang baik
persepsi siswa pada matematika tetapi juga pencapaian mereka di ujian nasional.
Hal itu sering di klaim bahwa banyak siswa mengembangkan “phobia matematika”
dan kekhawatiran mereka tentang matematika dipercaya dari beberapa
pertanggungjawaban untuk pencapaian yang rendah.
Dari beberapa
permasalahan tersebut maka terdapat sebuah transisi dari sebuah tradisional,
pendekatan keaslian kemampuan melalui pemecahan masalah, perbaikan pendekatan
ke matematika sekolah merupakan sebuah perubahan utama dan kompleks. Hal itu
akan membutuhkan tidak hanya pengenalan pada rangkaian instruksi yang baru dan
aktifitas, tapi juga aturan baru untuk guru dan sosial yang baru dan norma sosial
matematika. Hal itu akan menjadi pertanggungjawaban guru untuk membantu
perkembangan budaya penyelesaian masalah dikelas yang menantang siswa untuk
berjalan terus dengan zaman mereka, lebih pasif, mau menerima aturan dengan
lebih aktif, peran partisipasi. Siswa perlu mengambil inisiatif dan belajar
berfikir dan beralasan sendiri. Sebagai tambahan, guru harus belajar membimbing
siswa ke proses pembelajaran yang baru dengan memilih dan merancang tugas
instruksi yang menghasilkan pemikiran matematika yang produktif di setiap waktu
yang diberikan. Mereka perlu mengatur dan menyusun semua diskusi kelas yang
membantu siswa untuk berfikir kreatif. Peranan guru perlu berangsur-angsur
mengubah dari seorang autor, pengenalan instruksi secara langsung melalui
dukungan, berpusat pada siswa dan orientasi membangun. Seyogyanya, dalam
melayani dan sebelum pendidikan guru harus menjadi komponen kunci dari proses
perbaikan.
Teori RME
sangat berguna dibeberapa Negara seperti Belanda dan USA. Lebih dari itu,
konsep RME itu sendiri terhubung dengan pemikiran sekarang di Indonesia bahwa
pembelajaran matematika menekankan pada pembelajaran siswa yang aktif,
penyelesaian masalah dan aplikasi matematika. Terdapat sebuah keyakinan umum di
Indonesia bahwaobjek belajar dan mengajar matematika harus mengembangkan
kemampuan penalaran dan logika siswa. Jika kita mendengarkan dengan baik pesan
dari guru-guru matematika di Indonesia, kemudian satu dari perhatian mereka
adalah bagaimana cara membuat pelajaran matematika relevan pada siswa yang
berhadapan dengan masalah sehari-hari. Hal ini juga dibuktikan bahwa matematika
perlu dikuasai sebagai bentuk sistem penalaran (Nasution, 1996). Rekonstruksi
ide dan konsep matematika menuju tersusun dengan proses pengembangan kemampuan
menalar siswa. Hal ini dapat dicapai dalam RME melalui pendekatan siswa pada
masalah kontekstual dalam rangka proses belajar dan mengajar yang interaktif.
Untuk mengatur kegiatan mengajar matematika dalam “Eliciting Mathematical Thinking of Students through Realistic
Mathematics”untuk
pengembangan matematika berpikir guru yang bermain paling peran penting dalam
menyelenggarakan kegiatan perlu pertama yang mengubah mereka sendiri pemikiran
matematika. Mereka juga akan perlu untuk mengubah budaya pembelajaran mereka
dari menekankan hafalan matematika konten, hukum, rumus atau teori untuk
pengembangan pemikiran matematika dengan jenis kegiatan yang akan memungkinkan
siswa untuk mengembangkan pemikiran matematika untuk diri mereka sendiri. Untuk
dapat efisien mengatur kegiatan mengajar untuk pengembangan matematika berpikir
guru akan perlu bergantung pada beberapa jenis inovasi yang akan memungkinkan
mereka untuk memahami pentingnya perubahan budaya pembelajaran. Ini adalah
alasan mengapa; ada kebutuhan untuk menekankan pergeseran dalam berpikir dari
prosedur pemahaman.
Kendala utama untuk siswasukses berpartisipasidi kegiatan
pemecahan masalah matematika adalah bahwa hampir semua matematika masalah
digunakan di sekolah-sekolah Indonesia adalah latihan yang dirancang untuk
mengebor siswa di apa yang mereka telah diajarkan saja. Selain itu, latihan
biasanya hanya memberikan satu jawaban yang benar. Ini memiliki dasarnya siswa
terhambat masuk ke dalam berbagai cara berpikir dan menggunakan berbagai metode
untuk bekerja sama untuk memecahkan masalah. Namun sebaliknya, para guru harus
menggunakan masalah terbuka sebagai latihan bukankarena hanya melalui
Pendekatan, tapi masalah yang dapat menghasilkan berbagai jawaban dan
menawarkan berbagai proses untuk memecahkan masalah. Masalah juga dapat
berkembang menjadi masalah lain untuk dipecahkan. Seperti karakteristik open-ended yang membuat mereka terlihat
seperti masalah situasional sehingga siswa dapat menciptakan masalah bagi diri
mereka sendiri. Ini adalah kondisi penting di mana siswa dapat bekerja sama
untuk memecahkan masalah, dan untuk berpartisipasi dalam kegiatan pemecahan
masalah untuk jangka waktu lebih lama dari melakukan latihan polalama. Selain
itu, karena siswa terlibat dalam penyelesaian masalah yang mereka buat, para
guru dapat mengamati proses siswa mereka dari belajar dan berpikir matematika
siswa. Temuan penelitian juga menunjukkan fakta bahwa konteks sosial dan budaya
Indonesia telah sangat mempengaruhi pemikiran matematika siswa, terutama peran
guru matematika yang tampaknya menghambat ekspresi bebas dari matematika
berpikir dengan siswa. Oleh karena itu, perubahan dalam cara guru mengelola
kegiatan kelas adalah menekankan pada menyajikan isi pelajaran baru, memberikan
contoh dan membuat ringkasan pada akhir setiap periode, untuk pendekatan
kegiatan belajar yang barumelalui kegiatan terbuka, dan untuk mengubah peran
mereka sebagai penyedia jawaban atau pemancar pengetahuan agar mendorong siswa
untuk menghargai pentingnya pemikiran. Mereka dapat melakukan ini dengan
beralih dari jenis pertanyaan yang bertujuan agar siswa membuat jawaban yang
benar dengan yangpertanyaaan agar merangsang siswa untuk merenungkan atau untuk
meninjau mereka pemikiran sendiri. Sehingga diharapkan siswa dapat berfikir
matematika melalui RME.
A. Pendidikan Matematika Realistik
Pendidikan
matematika realistik (Marja Van Den Heuvel-Panhuizen) merupakan teori instruksi
spesifik yang dominan untuk pendidikan matematika. Secara langsung, adjektif
dari ‘realistic’ dengan pasti dalam persetujuan dengan bagaimana belajar dan
mengajar matematika terlihat seperti RME, tapi dilain waktu, istilahny. Istilah
‘realistic’ berasal dari Belanda
yaitu ‘zichrealiseren’ yang berarti ‘to
imagine’ atau membayangkan. Dengan kata lain, istilah ‘realistic’
lebih bermaksud kepada siswa seharusnya diberikan situasi masalah yang mereka
bisa membayangkan kemudian mengarah pada kenyataan (‘realness’) atau keaslian
masalah.
Satu
dari konsep dasar RME adalah ide Freudenthal (1971) mengenai matematika adalah
aktivitas manusia. Seperti yang dikatakan sebelumnya, matematika tidak hanya
tubuh pengetahuan matematika, tapi aktifitas menyelesaikan masalah dan mencari
masalah, dan biasanya lebih pada aktifitas untuk mengatur hal dari hal yang
nyata atau matematika, yang disebut matematisasi (‘mathematization’) (Freudenthal, 1968).Yang paling jelas
diklarifikasi tentang matematika adalah: “Tidak ada matematika tanpa
matematisasi” (Freudenthal,
1973).
Interpretasi
berdasarkan aktifitas matematika memiliki konsekuensi penting untuk
bagaimana pendidikan matematika dikonseptualisasikan. Lebih tepatnya,
matematisasi mempengaruhi kedua tujuan dalam pendidikan matematika dan metode
mengajar. Berdasarkan Freudenthal, matematika dapat dipelajari dengan baik
dengan melakukannya dan matematisasi adalah tujuan inti dalam pendidikan
matematika.
Terdapat
dua cara matematisasi dalam matematika. Treffers (1978, 1987) yang menempatkan
dua cara matematisasi dalam perspektif yang baru yang menyebabkan Freudenthal
mengubah pikirannya dengan baik. Treffers merumuskan ide tentang dua cara
mematisasi dalam konteks pendidikan. Dia membedakan matematisasi horizontal dan
matematisasi vertikal. Pada matematisasi horizontal, alat matematika diberikan
dan digunakan untuk mengatur dan menyelesaikan sebuah pemasalahan yang
disituasikan pada kehidupan sehari-hari. Kebalikannya, matematisasi vertikal
digunakan untuk semua pengaturan kembali dan perasi yang dilakukan oleh siswa
dengan system matematika itu sendiri. Pada buku terakhir Freudenthal (1991) diadosi dari perbedaan
Treffers pada dua cara matematisasi dan menyampaikan pengertiannya sebagai
berikut: pada matematisasi horizontal berarti mengarah dari dunia kehidupan ke
dunia simbol, dan pada matematisasi vertical berarti bergerak dengan dunia simbol.
Yang terakhir menyiratkan, membuat jalan pintas dan menemukan koneksi antara
konsep dan strategi dan menggunakan beberapa penemuan. Freudenthal menekankan
bahwa perbedaan antara keduanya adalahFreudenthalmenekankanbagaimanapun terdapatperbedaan antaradua
duniaini yaitu jauhdari potong yang jelas, dan bahwa, dalam pandangannya,
duniatersebut tidak terpisahkan, namun pada kenyataannya,terpisah. Selain
itu, Freudhental menemukandua bentukmatematisasi yangmenjadinilai yang sama, dan menekankanfaktabahwa
keduakegiatanbisaberlangsung padasemua tingkatkegiatanmatematika. Dengan kata lain,misalpadatingkatkegiatanpenghitungan, kedua bentukdapat
terjadi.
Terdapat tiga prinsip dasar pendidikan matematika
realistik (Robert K. Sembiring, Sutarto Hadi dan Maarten Dolk) yaitu prinsip menemukan dengan
pembimbingan, penomenologi didaktik dan mediasi model. Semua prinsip ini
terinspirasi oleh pandangan Freudenthal mengenai matematika sebagai kegiatan
manusia atau ‘mathematics as human activity’.
Pikiran ini menempatkan penekanan yang kuat pada aktivitas siswa dalam
merekonstruksi ide matematika mereka dan konsep di bawah bimbingan para guru.
1. The guided reinvention
principlemuncul untuk merespon pengajaran
“matematika sebagau sistem siap pakai atau sistem sudah jadi” dimana hasil
akhir pekerjaan matematika siswa diambil sebagai titik awal pengajaran
matematika. Pandangan Freudenthal (1973; 1991) matematika harus mengerjakan
aktivitas yang mana siswa mengalami matematika sebagai mata pelajaran yang
berarti dan dapat memahami matematika. Matematika bukan menyajikan yang sudah
jadi. Pada Guided reinvention principle
menempatkan pentingnya matematika sebagai proses yang mana siswa belajar
matematika dalam aktivitas yang dibimbing oleh guru atau kawan sebaya.
2. The didactical
phenomenology principle menyangkut
menyelesaikan masalah kontekstual dan situasi yang memenuhi generalisasi dan
menyediakan dasar untuk menghubungkan solusi ke konsep atau ide dalam
matematika. Menurut Gravemeijer (1994, 1999), tujuan pada investigasi
penomenalogi adalah harus menyelesaikan situasi masalah agar pendekatan situasi
yang spesifik dapat digeneralisasikan, dan menyelesaikan situasi yang dapat memunculkanskema
dengan prosedur solusi yang dapat diselesaikan dengan dasar konstruksi untuk
matematika formal.
3. The mediating models
principle menjelaskan peran bahwa model
konstruksi berperan sebagai penghubung jarak antara pengetahuan informal dan
matematika formal (Gravemeijer, 1994). Model yang pertama dihubungkan dengan
masalah kontekstual kemudian secara berangsur-angsur menyelesaikan masalah yang
mirip, siswa akan diarahkan lebih ke matematika formal. Idealnya, model dalam
RME muncul dari aktiftas siswa dan secara berangsur-angsur menyajikan sebagai
katalis untuk proses pertumbuhan ke pengetahuan yang lebih formal (Gravemeijer,
1998). Gravemeijer menjelaskan bahwa tidak mungkin memiliki siswa menemukan
kembali model dengan caranya. Terkadang, model diberikan ke siswa tapi dalam
kasus ini, model harus mendukung transisi pemikiran siswa tentang matematika
formal.
B. Prinsip Pengajaran Intidalam RME
RME
dalam(Van den Heuvel-Panhuizen, M., dan Drijvers, P.) merupakan produk saat ini
dan tidak dapat diisolasi dari pergerakan perbaikan yang mendunia dalam
pendidikan matematika yang terjadi pada dekade terakhir ini. Oleh karena itu,
RME lebih umum dengan pendekatan sekarang dalam pendidikan matematika di
Negara-negara lain. Namun, RME melibatkan sejumlah prinsip inti dalam
pengajaran matematika yang terhubung dengan RME. Banyak dari prinsip pengajaran
inti diucapkan oleh Treffers (1978) namun dirumuskan setelah beberapa tahun
termasuk oleh Treffers sendiri. Terdapat enam prinsip yang dibedakan menjadi:
1.
Prinsip aktifitas
mengatakkan bahwa dalam RME, siswa diperlakukan sebagai partisipasi aktif dalam
proses pembelajaran. Prinsip aktivitas juga menekankan bahwa matematika yang
terbaik dipelajari dengan melakukan matematika yang merupakan refleksi yang
kuat dalam interpratasi Freudenthal dalam matematika sebagai aktivitas manusia,
sebaik ide Freudenthal dan Treffers dalam matematisasi.
2.
Prinsip realita atau
kenyataan dapat dikenali dalam dua cara. Pertama, kenyataan menunjukkan
pentingnya bahwa kenyataan didekatkan pada tujuan pendidikan matematika
termasuk kemampuan siswa untuk menggunakan matematika dalam menyelesaikan
masalah dalam kehidupan nyata. Kedua, kenyataan artinya bahwa pendidikan
matematika harus mulai dari situasi masalah yang bermakna bagi siswa, yang
memberikan keuntungan mereka pada pendekatan bermakna dalam konstruksi
matematika agar mereka mengembangkan penyelesaian masalah. Daripada memulai
dengan abstraksi pengajaran atau definisi diaplikasikan kemudian, dalam RME,
pengajaran mulai dengan masalah yang konteksnya kaya yang diperlukan dalam
pengaturan matematika atau mematisasikan dan menempatkan siswa pada jalan
strategi solusi yang terhubung pada konteks informal sebagai langkah pertama
dalam proses pembelajaran.
3.
Prinsip level
menggarisbawahi bahwa pembelajaran matematika mengartikan bahwa siswa melewati
beberapa level untuk mengerti: dari solusi yang berhubungan dengan konteks
informal, melalui menciptakan beberapa level jalan pintas dan skema, hingga
mendapatkan wawasan atau pengertian menjadi bagaimana konsep dan strategi
terhubung. Model sangat penting untuk menghubungkan jarak antara matematika
informal, matematika terkait konteks dan lebih ke matematika formal. Untuk
mengisi fungsi hubungan ini, model harus bertukar dari situasi keterangan
“model of” ke “model for” untuk semuanya, tapi masih setara.
4.
Prinsip intertwining
mengartikan bahwa isi matematika menguasai seperti bilangan, geometri,
pengukuran, dan penanganan data yang belum dipertimbangkan sebagai bab
kurikulum yang terisolasi tapi sangat terpadu. Siswa diberikan masalah yang
kaya yang mereka dapat menggunakan beberapa alat dan pengetahuanmatematika.
prinsip ini menerapkan dengan penguasaan. Contoh, dengan penguasaan bilangan,
aritmatika, estimasi dan algoritma diajarkan hubungan yang dekat dengan yang
lain.
5.
Prinsip interaksi
dalam RME menandakan bahwa membelajari matematika tidak hanya aktivitas
individu tetapi aktifitas sosial. Oleh karena itu, RME menyerupai diskusi
seluruh kelas dan kerja kelompok yang memberikan keuntungan siswa untuk
membagikan strategi dan menemukan dengan yang lain. Dengan cara ini, siswa
dapat memberikan ide-ide untuk meningkatkan strategi mereka. Meskipun,
interaksi menimbulkan refleksi yang membantu siswa meraih level tertinggi dalam
pemahaman.
6.
Prinsip bimbingan
mengarah ke ide Freudenthal mengenai “guided reinvection” pada matematika.
prinsip bimbingan menyiratkan dalam RME, guru harus memiliki peran yang
proaktif dalam pembelajaran siswa dan bahwa program matematika harus mengisi
scenario yang memiliki potensi dalam pekerjaan sebagai pengangkat untuk
mencapai perpindahan pemahaman siswa. Dalam mereliasisasikan hal ini,
pengajaran dan program harus berdasarkan pada trajektori belajar mengajar
jangka panjang yang koheren.
Pelaksanaan empat tingkat pemodelan pada Pendidikan Matematika
Realistik adalah sebagai berikut:
1. Tingkat
situasional
Tingkat situasional adalah tingkat dasar pemodelan muncul di
pada domain tertentu, pengetahuan dan strategi situasional digunakan dalam
konteks situasi. Di tingkat ini, siswa masih menggunakan pemikiran mereka
sendiri dalam melambangkan dan berpikir terkait dengan situasi.
2. Tingkat
referensial
Penggunaan model dan strategi di level ini mengacu pada
situasi yang dijelaskan dalam
masalah
atau, dengan kata lain, tingkat referensial adalah tingkat model-of. Kelas Diskusi mendorong siswa
bergeser dari tingkat situasional ke tingkat referensial ketika siswa perlu
membuat representasi (gambar) sebagai model-strategi mereka dan alat ukur dalam
kegiatan pengukuran.
3. Tingkat umum
Pada tingkat umum, model-for
muncul di mana fokus pada strategi matematika mendominasi referensi untuk
masalah kontekstual.
4. Tingkat
formal
Di tingkat formal, penalaran dengan simbolisasi konvensional
tidak lagi tergantung pada dukungan aktivitas matematika model-for. Fokus bergerak pada diskusi dengan
karakteristik yang lebih spesifik dari model yang berhubungan dengan konsep.
C. Berfikir matematika
Dari sudut pandang peneliti (5rme), pemikiran matematika
dapat dilihat melalui banyak kerangka teoritis. Berdasarkan Inprasitha dan
lainnya (2003) melakukan penelitian untuk menyelidiki proses matematika dasar
dan menengah siswa yang menekankan pemikiran matematika mereka selama memecahan
masalah secara terbuka. Komite Studi Matematika Belajar dari US National
Research Council dalam (Sin_ead Breen and Ann O'Shea), keahlian matematika adalah apa saja
yang memberikan orang/siswa untuk belajar matematika dengan berhasil dan mereka
percaya bahwa terdapat lima standar yaitu: pemahaman konseptual, kelancaran
procedural, kompetensi strategis (kemampuan untuk merumuskan dan memecahkan
masalah matematika), penalaran adaptif (kemampuan berpikir logis, merefleksi
dan justifikasi),disposisi produktif (melihat maatematika sebagaikebergunaan
dan menjadi percaya diri dalam kemampuan sendiri). Penulis mengklaim bahwa lima
standar saling terhubung dan kelimanya dapat mendukung dan berkembang secara
bersama. Fokus pada matematika sekolah. Pada level ke tiga, ide mengenai
pemikiran matematika lanjutan sering di sadari.
Ada beberapa perdebatan apakah istilah ini berarti berpikir
matematika lanjutan atau berpikir tentang apapun matematika dengan cara yang tinggi.
David Tall mengklaim bahwa fitur yang membedakan dari pemikiranmatematikayang tinggiadalah
abstraksi, dan desakan pada bukti daripada pembenaran. Banyak penulis setuju
bahwa praktek matematika dan berpikir didorong dalam pembelajaran matematika yang
mencerminkan praktek profesional matematika. Misalnya, Hyman Bass berbicara
tentang praktek matematika atau kebiasaan pikiran penelitimatematika dan
berpendapat bahwa praktek-praktek ini seperti percobaan, penalaran,
generalisasi, penggunaan definisi dan penggunaan bahasa matematika dapat
dipupuk pada setiap tahap dalam sistem pendidikan. Mason dan Johnston-Wilder
memberikan daftar khusus dari kata-kata bahwa mereka percaya dengan menunjukkan
proses dan tindakan yang matematikawan lakukan ketika mereka mengajukan dan
mengatasi matematika masalah seperti: "mencontohkan, spesialisasi,
menyelesaikan, menghapus, membenarkan, membandingkan, menyortir, mengatur,
mengubah, bervariasi, membalikkan, mengubah, generalisasi, menduga,
menjelaskan, membenarkan, memverifikasi, meyakinkan, dan menyangkal. Mereka
mengusulkan bahwa pertanyaan yang diajukan kepada siswa harus menarik melalui kata-kata
agar memungkinkan siswa untuk mencoba aspek berfikir matematika.
Dengan melaksanaan empat tingkat pemodelan pada Pendidikan
Matematika Realistik yaitu:tingkat
situasionalyaitu siswa masih menggunakan pemikiran mereka sendiri dalam
melambangkan dan berpikir terkait dengan situasi, tingkat referensialmengacu pada situasi yang dijelaskan dalam
masalah disebut model-of,tingkat umumyaitu mengacu pada model-foryang muncul di mana fokus pada
strategi matematika mendominasi referensi untuk masalah kontekstual dan tingkat formalyaitu penalaran dengan
simbolisasi konvensional tidak lagi tergantung pada dukungan aktivitas
matematika model-for dapat memberikan
keleluasaan kepada siswa untuk berfikir secara matematika karena berfikir
secara matematika dalam pembelajaran matematika dapat berasal dari mencontohkan,
spesialisasi, menyelesaikan, menghapus, membenarkan, membandingkan, menyortir,
mengatur, mengubah, bervariasi, membalikkan, mengubah, generalisasi, menduga,
menjelaskan, membenarkan, memverifikasi, meyakinkan, dan menyangkal.Sehingga
diharapkan siswa dapat berfikir matematika melalui RME
DAFTAR PUSTAKA
Anwar,
L.,Budayasa, I. K., Amin, M. S., & De Hann, D. (2012). Eliciting mathematical thinking of students
through realistic mathematics education.IndoMS.
J.M.E,
3, 55-70.
Breen,
S.,& O'shea, A.(2010). Mathematical thinking and task design. Irish Math. Soc. Bulletin, 66, 39-49.
Van
Den Heuvel-Panhuizen, M. (2003). The didactical use of models in realistic
Mathematics education: An example from a longitudinal trajectory on
percentage1. Educational Studies in Mathematics, 54, 9–35.Netherlands:Kluwer
Academic Publishers.
Van den Heuvel-Panhuizen, M., & Drijvers, P. (2014). Realistic mathematics education. In S. Lerman (Ed.), Encyclopedia
of Mathematics Education (pp. 521-525). Dordrecht,
Heidelberg, New York, London: Springer.
Sembiring,R.
K., Hadi. S., &Dolk, M. (2008). Reforming mathematics learning in
Indonesian classrooms through RME. ZDM
Mathematics Education, 40, 927–939.
No comments:
Post a Comment