Thursday, 18 February 2016

Pendidikan Matematika Realistik









Meningkatkan cara berfikir matematika untuk siswa melalui Pendidikan Matematika Realistik

A.    Latar Belakang

Terlepas dari beberapa tahun terakhir mengenai pengajaran matematika yaitu pendekatan Realistic Mathematics Education (RME) dari Belanda, pendekatan Open-Ended dari Jepang, dan pendekatan kontekstual dari Amerika Serikat. Dalam NCTM 2000 terdapat lima kemampuan dasar matematika yang merupakan standar yakni pemecahan masalah (problem solving), penalaran dan bukti (reasoning and proof), komunikasi (communication), koneksi (connections), dan representasi (representation). Berdasarkan Standar NCTM mengenai pengajaran dan pembelajaran matematika perlunya pengajaran dimana pembelajaran matematika yang efektif membutuhkan pemahaman tentang apa yang siswa tahu dan perlu untuk belajar dan kemudian memberikan tantangan dan dukungan kepada mereka untuk mempelajri secara baik dan untuk pembelajaran dimana siswa harus mempelajari matematika dengan pemahaman, membangun pengetahuan yang baru secara aktif dari pengalaman dan pengetahuan sebelumnya. Permasalahan yang terjadi di Indonesia lebih kepada belajar pembelajarannya, ditinjau dari jurnal “Reforming mathematics learning in Indonesian classrooms through RME” didapat bahwa:Beberapa peneliti atau pendidik telah mengetahui kelemahan pada pembelajaran matematika khusus di sekolah dasar: para siswa menemukan kesulitan untuk memahami dan membangun  konsep matematika dan menyelesaikan gambaran matematika dari masalah kontekstual dan cara mengajar membuat matematika lebih sulit untuk dipelajari dan dimengerti.Para siswa menjadi ketakutan terhadap matematika (Haji 1994; Jailani 1990). Berdasarkan fakta tersebut, pertanyaannya apa yang harus digantikan mengenai pengajaran tradisional muncul.Banyak guru menjadi percaya bahwa matematika modern telah menyulitkan siswa mereka, dan seringnya para guru mengajar melalui cara yang dipercaya hamper semuanya pada buku teks. Di kelas, siswa mengikuti buku teks halaman per halaman, tanpa menyadari kebenaran atau paling tidak pelajaran matematika yang  mereka tulis di buku mereka (soemerset 1997). Sebagai hasil, belajar mengajar matematika di sekolahan Indonesia menjadi mekanistik, dengan para guru yang cenderung mendikte formula/rumus dan prosedur/langkah ke siswa mereka (Armanto 2002, Fauzan 2002, Hadi 2002). Metode ceramah mempengaruhi sikap siswa. Siswa diharapkan belajar matematika dengan cara yang pasif dan, tetapi  beberapa jarang mempelajari semua itu. Banyak siswa terbiasa menjadi penerima dari guru mereka dan jarang bertanya untuk berfikir kreatif atau kritikal tentang apa yang sedang mereka pelajari.
Berikut ini merupakan hasil dari observasi di sekolah dasar di Surabaya, jawa timur, yang menggambarkan cara biasa dalam pengajaran matematika di Indonesia (Fauzan 2002,p 2).Guru menulis sebuah masalah/soal perkalian dengan dua digit angka pada papan tulis dan mulai menyelesaikanny sendiri. Dalam penyelesaian masalah, guru melakukan hal tersebut dengan bertanya dan menulis sekaligus. Terkadang guru bertanya ke siswa mengenai hasil pada langkah penyelesaian, dan siswa memberikan jawaban serempak, guru memberikan respon dengan mengatakan “good atau bagus” kapanpun siswa menjawab dengan benar, namun guru tidak mengomentari jika respon yang diberikan siswa itu salah. Guru kemudian menyelesaikan masalah/soal tersebut. Guru mengulang proses dan diakhir guru menanyakan pertanyaan yang sama untuk mengecek bahwa siswa mengerti atau tidak. Suara mengatakan “Ya” sangat besar dan guru terlihat puas.Penelitian diadakan/dilakukan oleh Armanto (2002) menyatakan dampak dari cara mengajar ini. Dia mengobservasi beberapa kesalahankonsep pada bagian pada siswa yang melakukan prosedur setelah mempelajari algoritme biasa/standar. Beberapa guru berpendapat bahwa siswa dapat mengerti dan mengaplikasikan algoritma dengan mudah untuk menyelesaikan masalah. Pernyataan ini hampir tidak benar karena dalam menjawab sebuah soal konsep perkalian diatur oleh guru dengan mengikuti contoh, hanya 1-3 orang siswa dapat menyelesaikan masalah dengan benar, dan selebihnya siswa mengalami kesulitan dengan ide/pikiran mengenai algoritma perkalian.Banyak pendidik matematika Indonesia merasa bahwa baik-buruk, pendekatan pembelajaran tradisional di matematka sekolah tidak hanya mempengaruhi dengan kurang baik persepsi siswa pada matematika tetapi juga pencapaian mereka di ujian nasional. Hal itu sering di klaim bahwa banyak siswa mengembangkan “phobia matematika” dan kekhawatiran mereka tentang matematika dipercaya dari beberapa pertanggungjawaban untuk pencapaian yang rendah.
Dari beberapa permasalahan tersebut maka terdapat sebuah transisi dari sebuah tradisional, pendekatan keaslian kemampuan melalui pemecahan masalah, perbaikan pendekatan ke matematika sekolah merupakan sebuah perubahan utama dan kompleks. Hal itu akan membutuhkan tidak hanya pengenalan pada rangkaian instruksi yang baru dan aktifitas, tapi juga aturan baru untuk guru dan sosial yang baru dan norma sosial matematika. Hal itu akan menjadi pertanggungjawaban guru untuk membantu perkembangan budaya penyelesaian masalah dikelas yang menantang siswa untuk berjalan terus dengan zaman mereka, lebih pasif, mau menerima aturan dengan lebih aktif, peran partisipasi. Siswa perlu mengambil inisiatif dan belajar berfikir dan beralasan sendiri. Sebagai tambahan, guru harus belajar membimbing siswa ke proses pembelajaran yang baru dengan memilih dan merancang tugas instruksi yang menghasilkan pemikiran matematika yang produktif di setiap waktu yang diberikan. Mereka perlu mengatur dan menyusun semua diskusi kelas yang membantu siswa untuk berfikir kreatif. Peranan guru perlu berangsur-angsur mengubah dari seorang autor, pengenalan instruksi secara langsung melalui dukungan, berpusat pada siswa dan orientasi membangun. Seyogyanya, dalam melayani dan sebelum pendidikan guru harus menjadi komponen kunci dari proses perbaikan.
Teori RME sangat berguna dibeberapa Negara seperti Belanda dan USA. Lebih dari itu, konsep RME itu sendiri terhubung dengan pemikiran sekarang di Indonesia bahwa pembelajaran matematika menekankan pada pembelajaran siswa yang aktif, penyelesaian masalah dan aplikasi matematika. Terdapat sebuah keyakinan umum di Indonesia bahwaobjek belajar dan mengajar matematika harus mengembangkan kemampuan penalaran dan logika siswa. Jika kita mendengarkan dengan baik pesan dari guru-guru matematika di Indonesia, kemudian satu dari perhatian mereka adalah bagaimana cara membuat pelajaran matematika relevan pada siswa yang berhadapan dengan masalah sehari-hari. Hal ini juga dibuktikan bahwa matematika perlu dikuasai sebagai bentuk sistem penalaran (Nasution, 1996). Rekonstruksi ide dan konsep matematika menuju tersusun dengan proses pengembangan kemampuan menalar siswa. Hal ini dapat dicapai dalam RME melalui pendekatan siswa pada masalah kontekstual dalam rangka proses belajar dan mengajar yang interaktif.
Untuk mengatur kegiatan mengajar matematika dalam “Eliciting Mathematical Thinking of Students through Realistic Mathematics”untuk pengembangan matematika berpikir guru yang bermain paling peran penting dalam menyelenggarakan kegiatan perlu pertama yang mengubah mereka sendiri pemikiran matematika. Mereka juga akan perlu untuk mengubah budaya pembelajaran mereka dari menekankan hafalan matematika konten, hukum, rumus atau teori untuk pengembangan pemikiran matematika dengan jenis kegiatan yang akan memungkinkan siswa untuk mengembangkan pemikiran matematika untuk diri mereka sendiri. Untuk dapat efisien mengatur kegiatan mengajar untuk pengembangan matematika berpikir guru akan perlu bergantung pada beberapa jenis inovasi yang akan memungkinkan mereka untuk memahami pentingnya perubahan budaya pembelajaran. Ini adalah alasan mengapa; ada kebutuhan untuk menekankan pergeseran dalam berpikir dari prosedur pemahaman.
Kendala utama untuk siswasukses berpartisipasidi kegiatan pemecahan masalah matematika adalah bahwa hampir semua matematika masalah digunakan di sekolah-sekolah Indonesia adalah latihan yang dirancang untuk mengebor siswa di apa yang mereka telah diajarkan saja. Selain itu, latihan biasanya hanya memberikan satu jawaban yang benar. Ini memiliki dasarnya siswa terhambat masuk ke dalam berbagai cara berpikir dan menggunakan berbagai metode untuk bekerja sama untuk memecahkan masalah. Namun sebaliknya, para guru harus menggunakan masalah terbuka sebagai latihan bukankarena hanya melalui Pendekatan, tapi masalah yang dapat menghasilkan berbagai jawaban dan menawarkan berbagai proses untuk memecahkan masalah. Masalah juga dapat berkembang menjadi masalah lain untuk dipecahkan. Seperti karakteristik open-ended yang membuat mereka terlihat seperti masalah situasional sehingga siswa dapat menciptakan masalah bagi diri mereka sendiri. Ini adalah kondisi penting di mana siswa dapat bekerja sama untuk memecahkan masalah, dan untuk berpartisipasi dalam kegiatan pemecahan masalah untuk jangka waktu lebih lama dari melakukan latihan polalama. Selain itu, karena siswa terlibat dalam penyelesaian masalah yang mereka buat, para guru dapat mengamati proses siswa mereka dari belajar dan berpikir matematika siswa. Temuan penelitian juga menunjukkan fakta bahwa konteks sosial dan budaya Indonesia telah sangat mempengaruhi pemikiran matematika siswa, terutama peran guru matematika yang tampaknya menghambat ekspresi bebas dari matematika berpikir dengan siswa. Oleh karena itu, perubahan dalam cara guru mengelola kegiatan kelas adalah menekankan pada menyajikan isi pelajaran baru, memberikan contoh dan membuat ringkasan pada akhir setiap periode, untuk pendekatan kegiatan belajar yang barumelalui kegiatan terbuka, dan untuk mengubah peran mereka sebagai penyedia jawaban atau pemancar pengetahuan agar mendorong siswa untuk menghargai pentingnya pemikiran. Mereka dapat melakukan ini dengan beralih dari jenis pertanyaan yang bertujuan agar siswa membuat jawaban yang benar dengan yangpertanyaaan agar merangsang siswa untuk merenungkan atau untuk meninjau mereka pemikiran sendiri. Sehingga diharapkan siswa dapat berfikir matematika melalui RME.


A.    Pendidikan Matematika Realistik
Pendidikan matematika realistik (Marja Van Den Heuvel-Panhuizen) merupakan teori instruksi spesifik yang dominan untuk pendidikan matematika. Secara langsung, adjektif dari ‘realistic’ dengan pasti dalam persetujuan dengan bagaimana belajar dan mengajar matematika terlihat seperti RME, tapi dilain waktu, istilahny. Istilah ‘realistic’ berasal dari Belanda yaitu ‘zichrealiseren’ yang berarti ‘to imagine’ atau membayangkan. Dengan kata lain, istilah  ‘realistic’ lebih bermaksud kepada siswa seharusnya diberikan situasi masalah yang mereka bisa membayangkan kemudian mengarah pada kenyataan (‘realness’) atau keaslian masalah.
Satu dari konsep dasar RME adalah ide Freudenthal (1971) mengenai matematika adalah aktivitas manusia. Seperti yang dikatakan sebelumnya, matematika tidak hanya tubuh pengetahuan matematika, tapi aktifitas menyelesaikan masalah dan mencari masalah, dan biasanya lebih pada aktifitas untuk mengatur hal dari hal yang nyata atau matematika, yang disebut matematisasi (‘mathematization’) (Freudenthal, 1968).Yang paling jelas diklarifikasi tentang matematika adalah: “Tidak ada matematika tanpa matematisasi” (Freudenthal, 1973).
Interpretasi  berdasarkan aktifitas matematika memiliki konsekuensi penting untuk bagaimana pendidikan matematika dikonseptualisasikan. Lebih tepatnya, matematisasi mempengaruhi kedua tujuan dalam pendidikan matematika dan metode mengajar. Berdasarkan Freudenthal, matematika dapat dipelajari dengan baik dengan melakukannya dan matematisasi adalah tujuan inti dalam pendidikan matematika.
Terdapat dua cara matematisasi dalam matematika. Treffers (1978, 1987) yang menempatkan dua cara matematisasi dalam perspektif yang baru yang menyebabkan Freudenthal mengubah pikirannya dengan baik. Treffers merumuskan ide tentang dua cara mematisasi dalam konteks pendidikan. Dia membedakan matematisasi horizontal dan matematisasi vertikal. Pada matematisasi horizontal, alat matematika diberikan dan digunakan untuk mengatur dan menyelesaikan sebuah pemasalahan yang disituasikan pada kehidupan sehari-hari. Kebalikannya, matematisasi vertikal digunakan untuk semua pengaturan kembali dan perasi yang dilakukan oleh siswa dengan system matematika itu sendiri. Pada buku terakhir Freudenthal (1991) diadosi dari perbedaan Treffers pada dua cara matematisasi dan menyampaikan pengertiannya sebagai berikut: pada matematisasi horizontal berarti mengarah dari dunia kehidupan ke dunia simbol, dan pada matematisasi vertical berarti bergerak dengan dunia simbol. Yang terakhir menyiratkan, membuat jalan pintas dan menemukan koneksi antara konsep dan strategi dan menggunakan beberapa penemuan. Freudenthal menekankan bahwa perbedaan antara keduanya adalahFreudenthalmenekankanbagaimanapun terdapatperbedaan antaradua duniaini yaitu jauhdari potong yang jelas, dan bahwa, dalam pandangannya, duniatersebut tidak terpisahkan, namun pada kenyataannya,terpisah. Selain itu, Freudhental menemukandua bentukmatematisasi yangmenjadinilai yang sama, dan menekankanfaktabahwa keduakegiatanbisaberlangsung padasemua tingkatkegiatanmatematika. Dengan kata lain,misalpadatingkatkegiatanpenghitungan, kedua bentukdapat terjadi.
Terdapat tiga prinsip dasar pendidikan matematika realistik (Robert K. Sembiring, Sutarto Hadi dan Maarten Dolk) yaitu prinsip menemukan dengan pembimbingan, penomenologi didaktik dan mediasi model. Semua prinsip ini terinspirasi oleh pandangan Freudenthal mengenai matematika sebagai kegiatan manusia atau ‘mathematics as human activity’. Pikiran ini menempatkan penekanan yang kuat pada aktivitas siswa dalam merekonstruksi ide matematika mereka dan konsep di bawah bimbingan para guru.
1.      The guided reinvention principlemuncul untuk merespon pengajaran “matematika sebagau sistem siap pakai atau sistem sudah jadi” dimana hasil akhir pekerjaan matematika siswa diambil sebagai titik awal pengajaran matematika. Pandangan Freudenthal (1973; 1991) matematika harus mengerjakan aktivitas yang mana siswa mengalami matematika sebagai mata pelajaran yang berarti dan dapat memahami matematika. Matematika bukan menyajikan yang sudah jadi. Pada Guided reinvention principle menempatkan pentingnya matematika sebagai proses yang mana siswa belajar matematika dalam aktivitas yang dibimbing oleh guru atau kawan sebaya.
2.      The didactical phenomenology principle menyangkut menyelesaikan masalah kontekstual dan situasi yang memenuhi generalisasi dan menyediakan dasar untuk menghubungkan solusi ke konsep atau ide dalam matematika. Menurut Gravemeijer (1994, 1999), tujuan pada investigasi penomenalogi adalah harus menyelesaikan situasi masalah agar pendekatan situasi yang spesifik dapat digeneralisasikan, dan menyelesaikan situasi yang dapat memunculkanskema dengan prosedur solusi yang dapat diselesaikan dengan dasar konstruksi untuk matematika formal.
3.      The mediating models principle menjelaskan peran bahwa model konstruksi berperan sebagai penghubung jarak antara pengetahuan informal dan matematika formal (Gravemeijer, 1994). Model yang pertama dihubungkan dengan masalah kontekstual kemudian secara berangsur-angsur menyelesaikan masalah yang mirip, siswa akan diarahkan lebih ke matematika formal. Idealnya, model dalam RME muncul dari aktiftas siswa dan secara berangsur-angsur menyajikan sebagai katalis untuk proses pertumbuhan ke pengetahuan yang lebih formal (Gravemeijer, 1998). Gravemeijer menjelaskan bahwa tidak mungkin memiliki siswa menemukan kembali model dengan caranya. Terkadang, model diberikan ke siswa tapi dalam kasus ini, model harus mendukung transisi pemikiran siswa tentang matematika formal.
B.     Prinsip Pengajaran Intidalam RME
RME dalam(Van den Heuvel-Panhuizen, M., dan Drijvers, P.) merupakan produk saat ini dan tidak dapat diisolasi dari pergerakan perbaikan yang mendunia dalam pendidikan matematika yang terjadi pada dekade terakhir ini. Oleh karena itu, RME lebih umum dengan pendekatan sekarang dalam pendidikan matematika di Negara-negara lain. Namun, RME melibatkan sejumlah prinsip inti dalam pengajaran matematika yang terhubung dengan RME. Banyak dari prinsip pengajaran inti diucapkan oleh Treffers (1978) namun dirumuskan setelah beberapa tahun termasuk oleh Treffers sendiri. Terdapat enam prinsip yang dibedakan menjadi:
1.      Prinsip aktifitas mengatakkan bahwa dalam RME, siswa diperlakukan sebagai partisipasi aktif dalam proses pembelajaran. Prinsip aktivitas juga menekankan bahwa matematika yang terbaik dipelajari dengan melakukan matematika yang merupakan refleksi yang kuat dalam interpratasi Freudenthal dalam matematika sebagai aktivitas manusia, sebaik ide Freudenthal dan Treffers dalam matematisasi.
2.      Prinsip realita atau kenyataan dapat dikenali dalam dua cara. Pertama, kenyataan menunjukkan pentingnya bahwa kenyataan didekatkan pada tujuan pendidikan matematika termasuk kemampuan siswa untuk menggunakan matematika dalam menyelesaikan masalah dalam kehidupan nyata. Kedua, kenyataan artinya bahwa pendidikan matematika harus mulai dari situasi masalah yang bermakna bagi siswa, yang memberikan keuntungan mereka pada pendekatan bermakna dalam konstruksi matematika agar mereka mengembangkan penyelesaian masalah. Daripada memulai dengan abstraksi pengajaran atau definisi diaplikasikan kemudian, dalam RME, pengajaran mulai dengan masalah yang konteksnya kaya yang diperlukan dalam pengaturan matematika atau mematisasikan dan menempatkan siswa pada jalan strategi solusi yang terhubung pada konteks informal sebagai langkah pertama dalam proses pembelajaran.
3.      Prinsip level menggarisbawahi bahwa pembelajaran matematika mengartikan bahwa siswa melewati beberapa level untuk mengerti: dari solusi yang berhubungan dengan konteks informal, melalui menciptakan beberapa level jalan pintas dan skema, hingga mendapatkan wawasan atau pengertian menjadi bagaimana konsep dan strategi terhubung. Model sangat penting untuk menghubungkan jarak antara matematika informal, matematika terkait konteks dan lebih ke matematika formal. Untuk mengisi fungsi hubungan ini, model harus bertukar dari situasi keterangan “model of” ke “model for” untuk semuanya, tapi masih setara.
4.      Prinsip intertwining mengartikan bahwa isi matematika menguasai seperti bilangan, geometri, pengukuran, dan penanganan data yang belum dipertimbangkan sebagai bab kurikulum yang terisolasi tapi sangat terpadu. Siswa diberikan masalah yang kaya yang mereka dapat menggunakan beberapa alat dan pengetahuanmatematika. prinsip ini menerapkan dengan penguasaan. Contoh, dengan penguasaan bilangan, aritmatika, estimasi dan algoritma diajarkan hubungan yang dekat dengan yang lain.
5.      Prinsip interaksi dalam RME menandakan bahwa membelajari matematika tidak hanya aktivitas individu tetapi aktifitas sosial. Oleh karena itu, RME menyerupai diskusi seluruh kelas dan kerja kelompok yang memberikan keuntungan siswa untuk membagikan strategi dan menemukan dengan yang lain. Dengan cara ini, siswa dapat memberikan ide-ide untuk meningkatkan strategi mereka. Meskipun, interaksi menimbulkan refleksi yang membantu siswa meraih level tertinggi dalam pemahaman.
6.      Prinsip bimbingan mengarah ke ide Freudenthal mengenai “guided reinvection” pada matematika. prinsip bimbingan menyiratkan dalam RME, guru harus memiliki peran yang proaktif dalam pembelajaran siswa dan bahwa program matematika harus mengisi scenario yang memiliki potensi dalam pekerjaan sebagai pengangkat untuk mencapai perpindahan pemahaman siswa. Dalam mereliasisasikan hal ini, pengajaran dan program harus berdasarkan pada trajektori belajar mengajar jangka panjang yang koheren.
Pelaksanaan empat tingkat pemodelan pada Pendidikan Matematika Realistik adalah sebagai berikut:
1.      Tingkat situasional
Tingkat situasional adalah tingkat dasar pemodelan muncul di pada domain tertentu, pengetahuan dan strategi situasional digunakan dalam konteks situasi. Di tingkat ini, siswa masih menggunakan pemikiran mereka sendiri dalam melambangkan dan berpikir terkait dengan situasi.
2.      Tingkat referensial
Penggunaan model dan strategi di level ini mengacu pada situasi yang dijelaskan dalam
masalah atau, dengan kata lain, tingkat referensial adalah tingkat model-of. Kelas Diskusi mendorong siswa bergeser dari tingkat situasional ke tingkat referensial ketika siswa perlu membuat representasi (gambar) sebagai model-strategi mereka dan alat ukur dalam kegiatan pengukuran.
3.      Tingkat umum
Pada tingkat umum, model-for muncul di mana fokus pada strategi matematika mendominasi referensi untuk masalah kontekstual.
4.      Tingkat formal
Di tingkat formal, penalaran dengan simbolisasi konvensional tidak lagi tergantung pada dukungan aktivitas matematika model-for. Fokus bergerak pada diskusi dengan karakteristik yang lebih spesifik dari model yang berhubungan dengan konsep.

C.    Berfikir matematika
Dari sudut pandang peneliti (5rme), pemikiran matematika dapat dilihat melalui banyak kerangka teoritis. Berdasarkan Inprasitha dan lainnya (2003) melakukan penelitian untuk menyelidiki proses matematika dasar dan menengah siswa yang menekankan pemikiran matematika mereka selama memecahan masalah secara terbuka. Komite Studi Matematika Belajar dari US National Research Council dalam (Sin_ead Breen and Ann O'Shea), keahlian matematika adalah apa saja yang memberikan orang/siswa untuk belajar matematika dengan berhasil dan mereka percaya bahwa terdapat lima standar yaitu: pemahaman konseptual, kelancaran procedural, kompetensi strategis (kemampuan untuk merumuskan dan memecahkan masalah matematika), penalaran adaptif (kemampuan berpikir logis, merefleksi dan justifikasi),disposisi produktif (melihat maatematika sebagaikebergunaan dan menjadi percaya diri dalam kemampuan sendiri). Penulis mengklaim bahwa lima standar saling terhubung dan kelimanya dapat mendukung dan berkembang secara bersama. Fokus pada matematika sekolah. Pada level ke tiga, ide mengenai pemikiran matematika lanjutan sering di sadari.
Ada beberapa perdebatan apakah istilah ini berarti berpikir matematika lanjutan atau berpikir tentang apapun matematika dengan cara yang tinggi. David Tall mengklaim bahwa fitur yang membedakan dari pemikiranmatematikayang tinggiadalah abstraksi, dan desakan pada bukti daripada pembenaran. Banyak penulis setuju bahwa praktek matematika dan berpikir didorong dalam pembelajaran matematika yang mencerminkan praktek profesional matematika. Misalnya, Hyman Bass berbicara tentang praktek matematika atau kebiasaan pikiran penelitimatematika dan berpendapat bahwa praktek-praktek ini seperti percobaan, penalaran, generalisasi, penggunaan definisi dan penggunaan bahasa matematika dapat dipupuk pada setiap tahap dalam sistem pendidikan. Mason dan Johnston-Wilder memberikan daftar khusus dari kata-kata bahwa mereka percaya dengan menunjukkan proses dan tindakan yang matematikawan lakukan ketika mereka mengajukan dan mengatasi matematika masalah seperti: "mencontohkan, spesialisasi, menyelesaikan, menghapus, membenarkan, membandingkan, menyortir, mengatur, mengubah, bervariasi, membalikkan, mengubah, generalisasi, menduga, menjelaskan, membenarkan, memverifikasi, meyakinkan, dan menyangkal. Mereka mengusulkan bahwa pertanyaan yang diajukan kepada siswa harus menarik melalui kata-kata agar memungkinkan siswa untuk mencoba aspek berfikir matematika.
Dengan melaksanaan empat tingkat pemodelan pada Pendidikan Matematika Realistik yaitu:tingkat situasionalyaitu siswa masih menggunakan pemikiran mereka sendiri dalam melambangkan dan berpikir terkait dengan situasi, tingkat referensialmengacu pada situasi yang dijelaskan dalam masalah disebut model-of,tingkat umumyaitu mengacu pada model-foryang muncul di mana fokus pada strategi matematika mendominasi referensi untuk masalah kontekstual dan tingkat formalyaitu penalaran dengan simbolisasi konvensional tidak lagi tergantung pada dukungan aktivitas matematika model-for dapat memberikan keleluasaan kepada siswa untuk berfikir secara matematika karena berfikir secara matematika dalam pembelajaran matematika dapat berasal dari mencontohkan, spesialisasi, menyelesaikan, menghapus, membenarkan, membandingkan, menyortir, mengatur, mengubah, bervariasi, membalikkan, mengubah, generalisasi, menduga, menjelaskan, membenarkan, memverifikasi, meyakinkan, dan menyangkal.Sehingga diharapkan siswa dapat berfikir matematika melalui RME
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, L.,Budayasa, I. K., Amin, M. S., & De Hann, D. (2012). Eliciting mathematical thinking of students through realistic mathematics education.IndoMS. J.M.E, 3, 55-70.

Breen, S.,& O'shea, A.(2010). Mathematical thinking and task design. Irish Math. Soc. Bulletin, 66, 39-49.

Van Den Heuvel-Panhuizen, M. (2003). The didactical use of models in realistic Mathematics education: An example from a longitudinal trajectory on percentage1. Educational Studies in Mathematics, 54, 9–35.Netherlands:Kluwer Academic Publishers.

Van den Heuvel-Panhuizen, M., & Drijvers, P. (2014). Realistic mathematics education. In S. Lerman (Ed.), Encyclopedia of Mathematics Education (pp. 521-525). Dordrecht, Heidelberg, New York, London: Springer.

Sembiring,R. K., Hadi. S., &Dolk, M. (2008). Reforming mathematics learning in Indonesian classrooms through RME. ZDM Mathematics Education, 40, 927–939.




No comments:

Post a Comment