Thursday, 15 October 2015

fungsi dan konsep kurikulum

Fungsi dan Konsep Kurikulum

Kurikulum dan pendidikan adalah dua hal yang erat berkaitan, tak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. System pendidikan yang dijalankan pada zaman modern ini tak mungkin tanpa melibatkan keikutsertaan kurikulum. Tak mungkin ada kegiatan pendidikan tanpa kurikulum. Kebutuhan akan adanya aktivitas pendidikan selalu berarti kebutuhan adanya kurikulum. Dalam kurikulum itulah tersimpul segala sesuatu yang harus dijadikan pedoman bagi pelaksanaan pendidikan. Pemikiran tentang adanya kurikulum adalah setua dengan adanya system pendidikan itu sendiri.
Konsep kurikulum berkembang sejalan dengan perkembangan teori dan praktek pendidikan yang dianutnya. Menurut pandangan lama Kuno, kurikulum merupakan kumpulan mata-mata pelajaran yang harus disampaikan guru atau dipelajari oleh siswa. Anggapan ini telah ada sejak zaman Yunani Kuno, dalam lingkungan atau hubungan tertentu pandangan  ini masih dipakai sampai sekarang, yaitu kurikulum sebagai “…a receourse of subject matter to be mastered”. Banyak orang tua bahkan juga guru-guru, kalau ditanya tentang kurikulum akan memberikan jawaban sekitar bidang studi atau mata-mata pelajaran. Lebih khusus mungkin kurikulum diartikan hanya sebagai isi pelajaran.
Hubungan antara pendidikan dengan kurikulum adalah hubungan antara tujuan dan isi pendidikan. Suatu tujuan, tegasnya tujuan pendidikan yang ingin dicapai, akan dapat terlaksana jika alat, sarana, isi, atau tegasnya kurikulum yang dijadikan dasar acuan itu relevan. Artinya, sesuai dengan tujuan pendidikan tersebut. Hal itu dapat diartikan bahwa kurikulum dapat membawa kita ke arah tercapainya tujuan pendidikan. Karena kurikulum merupakan isi dan sarana untuk mencapai tujuan pendidikan, maka kurikulum berisi nilai-nilai atau cita-cita yang sesuai dengan pandangan hidup bangsa. Pada hakikatnya, proses pendidikan yang dijalankan adalah usaha untuk merealisasikan nilai-nilai dan ide-ide tersebut.
Pada dasarnya tujuan pendidikan yang pokok (atau hakiki, esensial, prinsipal) itu tetap karena ia berhubungan dengan system nilaiatau pandangan hidup suatu bangsa. Akan tetapi, hal itu tidak berarti kurikulum pun harus statis, tak pernah mengalami perubahan. Kurikulum pun harus selalu dikembangkan sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat. Masyarakat yang dinamis akan selalu mengalami perkembangan, selalu menuntut adanya perubahan sesuai dengan perkembangan zaman. Pada hakikatnya, hal itu pun dapat dipandang sebagai akibat system pendidikan yang dijalankan yang juga sudah diperhitungkan. Dengan kata lain, adanya keadaan masyarakat yang dinamis dan terbuka terhadap adanya usaha-usaha pembaharuan sesuai dengan perkembangan zaman tersebut, merupakan keberhasilan system pendidikan, tanpa mengabaikan berbagai faktor lain yang juga berperanan.
Dalam banyak hal, kurikulum dapat dijadikan ukuran kualitas proses dan keluaran pendidikan yang dijalankan. Dalam suatu kurikulum sekolah telah tergambar tentang berbagai pengetahuan, keterampilan, sikap, serta nilai-nilai yang diharapkan dimiliki oleh setiap lulusan suatu sekolah. Akan tetapi, kurikulum bukanlah merupakan satu-satunya faktor penentu “kualitas” seperti yang disarankan di dalamnya. Masih terdapat berbagai faktor lain yang turut menunjang kualitas  atau keberhasilan kegiatan pendidikan yang dijalankan. Penting buat guru adalah ia harus benar-benar menyadari peranannya sebagai pelaksana pendidikan yang amat menentukan. Hal itu menuntut kepadanya untuk memahami dan menguasai berbagai masalah pendidikan, antara lain masalah kurikulum.
Hingga dewasa ini definisi tentang kurikulum yang dikemukakan orang banyak sekali, dan antara satu definisi dengan definisi yang lain tidak sama. Walau begitu, terdapat satu hal yang sering disebut dalam setiap kurikulum, yaitu bahwa kurikulum berurusan dengan perencanaan aktivitas siswa. Perencanaan itu biasanya dihubungkan dengan kegiatan belajar mengajar yang dimaksudkan untuk mencapai sejumlah tujuan.
Istilah kurikulum semula berasal dari istilah yang dipergunakan dalam dunia atletik curele yang berarti “berlari”. Istilah tersebut erat hubungannya dengan kata curier atau kurir yang berarti penghubung atau seseorang yang bertugas menyampaikan sesuatu kepada orang atau tempat lain. Seorang kurir harus menempuh suatu perjalanan untuk mencapai tujuan, maka istilah kurikulum kemudian diartikan orang sebagai suatu jarak yang harus ditempuh (S. Nasution, 1980 : 5).
Dari istilah atletik kurikulum mengalami perpindahan arti ke dunia pendidikan. Sebagai misal pengertian kurikulum seperti yang tercantum dalam Webster’s Internasional Dictionary:
Curriculum: course, a specified fixed course of study, as in a school or college, as one leading to a degree.
Kurikulum kemudian diartikan sebagai sejumlah mata pelajaran atau ilmu pengetahuan yang ditempuh atau dikuasai untuk mencapai suatu tingkat tertentu atau ijazah. Disamping itu kurikulum juga diartikan sebagai suatu rencana yang sengaja dirancang untuk mencapai sejumlah tujuan pendidikan. Itulah sebabnya orang pada masa lalu juga menyebut kurikulum dengan istilah “Rencana Pelajaran” yang merupakan terjemahan istilah Leerplan. Rencana pelajaran merupakan salah satu komponen dalam asas-asas didaktik yang harus dikuasai (atau paling tidak diketahui) oleh seorang guru atau calon guru.
Definisi-definisi kurikulum yang bersifat tradisional biasanya masih menampakkan adanya kecenderungan penekanan pada rencana pelajaran untuk menyampaikan mata pelajaran (subject matter) kepada anak didik yang biasanya berisi kebudayaan (hasil budi daya) masa lampau atau sejumlah ilmu pengetahuan. Anak yang berhasil melewati tahap ini akan berhak memperoleh ijazah. Kebudayaan atau sejumlah ilmu pengetahuan yang akan disampaikan tersebut bersumber pada buku-buku yang baik atau yang dianggap bermutu, sehingga kurikulum terutama dalam hal instruksional dan pemilihan bahan pengajaran lebih banyak ditentukan atau dipengaruhi buku-buku tersebut.
Dihubungkan dengan kebutuhan pengalaman anak yang diharapkan terpenuhi melalui kegiatan belajar mengajar di sekolah, ternyata hal tersebut kurang menguntungkan karena ia membatasi pengalaman anak dalam proses belajar mengajar di kelas saja dan kurang memperhatikan pengalaman-pengalaman lain yang diperoleh di luar kelas. Kurikulum yang bersifat demikian, hanya menekankan aspek intelektual saja yang harus dikuasai siswa dan mengabaikan aspek-aspek yang lain yang juga sangat berpengaruh dalam perkembangan kejiwaan siswa. Kurikulum macam ini biasa disebut Subject Centered Curriculum, yaitu kurikulum yang berpusat pada materi pelajaran.
Sejalan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat, pendirian tradisional mengenai kurikulum tersebut mulai ditinggalkan orang karena dianggap terlalu sempit dan terbatas. Atau paling tidak orang berusaha mencari kemungkinan-kemungkinan baru, sebab pada kenyataannya pula seperti halnya dengan masalah-masalah lain, belum dapat meninggalkan (atau tak mungkin meninggalkan) sama sekali pendirian kaum tradisional. Berdasarkan pendirian di atas, yakni pendirian tradisional, kurikulum yang dijalankan (mau tak mau) berpusat pada guru atau disebut Teachar Centered Curriculum. Pandangan yang lebih kemudian ingin mengubah pandangan tersebut dengan memperhatikan minat dan kebutuhan anak, karena anaklah sebenarnya yang menjadi subjek didik. Anak tak boleh hanya diperlakukan sebagai objek yang statis, melainkan harus diperhatikan kebutuhannya sesuai dengan perkembangan jiwanya. Oleh karena itu, terjadilah pergeseran dalam dunia pendidikan dari subject atau teacher centered ke student centered. Kurikulum yang sesuai dengan pandangan terakhir itu disebut Child Centered Curriculum. Hal itu terutama disebabkan oleh pengaruh penemuan-penemuan di bidang psikologi, khususnya psikologi perkembangan.
Setiap lembaga pendidikan baik formal maupun nonformal dalam penyelenggaraan kegiatan sehari-harinya berlandaskan kurikulum. Kurikulum itu sendiri dalam hal ini dapat berupa (1) rancangan kurikulum, yaitu buku kurikulum suatu lembaga pendidikan; (2) pelaksanaan kurikulum, yaitu proses pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan; dan (3) evaluasi kurikulum, yaitu penilaian atau penelitian hasil-hasil pendidikan. Dalam lingkup pendidikan formal, kegiatan merancang, melaksanakan, dan menilai kurikulum tersebut, yaitu yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan pendidikan, dilaksanakan sebagai program pengajaran.
Berbicara fungsi kurikulum kita dapat meninjaunya dari tiga segi, yaitu fungsi bagi sekolah yang bersangkutan, bagi sekolah pada tingkat di atasnya, dan fungsi bagi masyarakat (Winarno Surahmad: 6).
1.      Fungsi bagi sekolah yang bersangkutan
Pertama, sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan yang diinginkan.manifestasi kurikulum dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah adalah berupa program pengajaran. Program pengajaran itu sendiri merupakan suatu system yang terdiri dari berbagai komponen yang kesemuanya dimaksudkan sebagai upaya untuk mencapai tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan yang akan dicapai tersebut disusun secara berjenjang mulai dari tujuan pendidikan yang bersifat nasional sampai tujuan instruksional. Jika tujuan instruksional tercapai (hasilnya langsung dapat diukur melalui kegiatan belajar mengajar di kelas) pada gilirannya akan tercapai pula tujuan-tujuan pada jenjang diatasnya. Setiap kurikulum sekolah pasti di dalamnya tercantum tujuan-tujuan pendidikan yang akan atau harus dicapai melalui kegiatan pengajaran.
Kedua, kurikulum dijadikan pedoman untuk mengatur kegiatan-kegiatan pendidikan yang dilaksanakan di sekolah. Dalam pelaksanaan pengajaran misalnya, telah ditentukan macam-macam bidang studi, alokasi waktu, pokok bahasan atau materi pelajaran untuk tiap semester, sumber bahan, metode atau cara pengajaran, alat dan media pengajaran yang diperlukan. Di samping itu, kurikulum juga mengatur hal-hal yang berhubungan dengan jenis program, cara penyelenggaraan, strategi pelaksanaan, penanggungjawab, sarana dan prasarana, dan sebagainya.
2.      Fungsi bagi sekolah tingkat di atasnya
Dalam hal ini kurikulum dapat untuk mengontrol atau memelihara keseimbangan proses pendidikan. Dengan mengetahui kurikulum sekolah pada tingkat tertentu, maka kurikulum pada tingkat di atasnya dapat mengadakan penyesuaian. Misalnya saja, jika suatu bidang studi telah diberikan pada kurikulum sekolah di tingkat bawahnya, harus dipertimssbangkan lagi pemilihannya pada kurikulum sekolah tingkatan di atasnya terutama dalam hal pemilihan bahan pengajaran. Penyesuaian bahan tersebut dimaksudkan untuk menghindari keterulangan penyampaian yang bias berakibat pemborosan waktu, dan yang lebih penting lagi adalah untuk menjaga kesinambungan bahan pengajaran itu.
Di samping itu, terdapat juga kurikulum yang berfungsi untuk menyiapkan tenaga pengajar. Bila suatu sekolah atau lembaga pendidikan bertujuan menghasilkan tenaga guru (LPTK), maka lembaga tersebut harus mengetahui kurikulum sekolah pada tingkat dibawahnya tempat calon guru yang dipersiapkan itu akan mengajar.
3.      Fungsi bagi masyarakat
Para tamatan sekolah memang dipersiapkan untuk terjun di masyarakat atau tegasnya untuk bekerja sesuai keterampilan profesi yang dimilikinya. Oleh karena itu, kurikulum sekolah haruslah mengetahui atau mencerminkan hal hal yang menjadi kebutuhan masyarakat atau para pemakai keluaran sekolah. Untuk keperluan itu perlu ada kerja sama antara pihak sekolah dengan “pihak luar” dalam hal pembenahan kurikulum yang diharapkan. Dengan demikian, masyarakat atau para pemakai lulusan sekolah dapat memberikan bantuan, kritik atau saran-saran yang berguna bagi penyempurnaan program pendidikan di sekolah.
Dewasa ini kesesuaian antara program kurikulum dengan kebutuhan masyarakat (baca: lapangan pekerjaan) harus benar-benar diusahakan. Hal itu mengingat seringnya terjadi kenyataan bahwa lulusan sekolah belum siap pakai atau tidak sesuai dengan tenaga yang dibutuhkan dalam lapangan pekerjaan. Akibatnya, walau semakin menumpuk tenaga kerja yang ada, kita tak dapat mengisi lapangan pekerjaan yang tersedia karena tak memiliki keterampilan atau keterampilan yang dimilikinya tak sesuai dengan yang dibutuhkan pada lapangan pekerjaan. Untuk mengatasi kesenjangantersebut, ada seorang tokoh pendidikan yang mengemukakan agar pada sekolah tingkat SD sudah dibuat menjadi dua jalur, yaitu jalur akademis (dipersiapkan untuk melanjutkan sekolah) dan jalu vokasional (dipersiapkan untuk segera bekerja). Hal itu berdasarkan kenyataan penelitian bahwa masih sebagian besar anak tamatan SD yang tidak meneruskan pendidikan ke tingkat da atasnya.
Penyiapan keterampilan para tamatan sekolah untuk bekal terjun di masyarakat kerja, juga ditentukan oleh misi suatu sekolah, apakah ia sekolah umum atau kejuruan. Misi suatu sekolah apakah ia bertugas mempersiapkan tamatannya untuk meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi (jalur akademis), atau untuk bekerja (jalur vokasional), atau untuk kedua-duanya, akan mewarnai pendidikan keterampilan yang diajarkan oleh pihak sekolah yang bersangkutan. Dengan adanya hal itu, para pemakai lulusan sekolah tentunya sudah tanggap, lulusan dengan keterampilan mana (atau apa) yang mereka butuhkan, dan itu harus dialamatkan pada sekolah yang sesuai dengan misinya.




DAFTAR PUSTAKA
Nurgiyantoro, Burhan, 1988, Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum Sekolah (Sebuah Pengantar Teoritis dan Pelaksanaan),Yogyakarta: BPFE.
Sukmadinata, Nana Syaodih, 1997, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.








No comments:

Post a Comment