Fungsi
dan Konsep Kurikulum
Kurikulum
dan pendidikan adalah dua hal yang erat berkaitan, tak dapat dipisahkan satu
dengan yang lain. System pendidikan yang dijalankan pada zaman modern ini tak
mungkin tanpa melibatkan keikutsertaan kurikulum. Tak mungkin ada kegiatan
pendidikan tanpa kurikulum. Kebutuhan akan adanya aktivitas pendidikan selalu
berarti kebutuhan adanya kurikulum. Dalam kurikulum itulah tersimpul segala
sesuatu yang harus dijadikan pedoman bagi pelaksanaan pendidikan. Pemikiran
tentang adanya kurikulum adalah setua dengan adanya system pendidikan itu
sendiri.
Konsep
kurikulum berkembang sejalan dengan perkembangan teori dan praktek pendidikan
yang dianutnya. Menurut pandangan lama Kuno, kurikulum merupakan kumpulan
mata-mata pelajaran yang harus disampaikan guru atau dipelajari oleh siswa.
Anggapan ini telah ada sejak zaman Yunani Kuno, dalam lingkungan atau hubungan
tertentu pandangan ini masih dipakai
sampai sekarang, yaitu kurikulum sebagai “…a receourse of subject matter to be
mastered”. Banyak orang tua bahkan juga guru-guru, kalau ditanya tentang
kurikulum akan memberikan jawaban sekitar bidang studi atau mata-mata
pelajaran. Lebih khusus mungkin kurikulum diartikan hanya sebagai isi
pelajaran.
Hubungan
antara pendidikan dengan kurikulum adalah hubungan antara tujuan dan isi
pendidikan. Suatu tujuan, tegasnya tujuan pendidikan yang ingin dicapai, akan
dapat terlaksana jika alat, sarana, isi, atau tegasnya kurikulum yang dijadikan
dasar acuan itu relevan. Artinya, sesuai dengan tujuan pendidikan tersebut. Hal
itu dapat diartikan bahwa kurikulum dapat membawa kita ke arah tercapainya
tujuan pendidikan. Karena kurikulum merupakan isi dan sarana untuk mencapai
tujuan pendidikan, maka kurikulum berisi nilai-nilai atau cita-cita yang sesuai
dengan pandangan hidup bangsa. Pada hakikatnya, proses pendidikan yang
dijalankan adalah usaha untuk merealisasikan nilai-nilai dan ide-ide tersebut.
Pada
dasarnya tujuan pendidikan yang pokok (atau hakiki, esensial, prinsipal) itu
tetap karena ia berhubungan dengan system nilaiatau pandangan hidup suatu
bangsa. Akan tetapi, hal itu tidak berarti kurikulum pun harus statis, tak
pernah mengalami perubahan. Kurikulum pun harus selalu dikembangkan sesuai
dengan perkembangan kebutuhan masyarakat. Masyarakat yang dinamis akan selalu
mengalami perkembangan, selalu menuntut adanya perubahan sesuai dengan
perkembangan zaman. Pada hakikatnya, hal itu pun dapat dipandang sebagai akibat
system pendidikan yang dijalankan yang juga sudah diperhitungkan. Dengan kata
lain, adanya keadaan masyarakat yang dinamis dan terbuka terhadap adanya
usaha-usaha pembaharuan sesuai dengan perkembangan zaman tersebut, merupakan
keberhasilan system pendidikan, tanpa mengabaikan berbagai faktor lain yang
juga berperanan.
Dalam
banyak hal, kurikulum dapat dijadikan ukuran kualitas proses dan keluaran
pendidikan yang dijalankan. Dalam suatu kurikulum sekolah telah tergambar
tentang berbagai pengetahuan, keterampilan, sikap, serta nilai-nilai yang
diharapkan dimiliki oleh setiap lulusan suatu sekolah. Akan tetapi, kurikulum
bukanlah merupakan satu-satunya faktor penentu “kualitas” seperti yang
disarankan di dalamnya. Masih terdapat berbagai faktor lain yang turut
menunjang kualitas atau keberhasilan
kegiatan pendidikan yang dijalankan. Penting buat guru adalah ia harus
benar-benar menyadari peranannya sebagai pelaksana pendidikan yang amat
menentukan. Hal itu menuntut kepadanya untuk memahami dan menguasai berbagai
masalah pendidikan, antara lain masalah kurikulum.
Hingga
dewasa ini definisi tentang kurikulum yang dikemukakan orang banyak sekali, dan
antara satu definisi dengan definisi yang lain tidak sama. Walau begitu,
terdapat satu hal yang sering disebut dalam setiap kurikulum, yaitu bahwa
kurikulum berurusan dengan perencanaan aktivitas siswa. Perencanaan itu
biasanya dihubungkan dengan kegiatan belajar mengajar yang dimaksudkan untuk
mencapai sejumlah tujuan.
Istilah
kurikulum semula berasal dari istilah yang dipergunakan dalam dunia atletik curele yang berarti “berlari”. Istilah
tersebut erat hubungannya dengan kata curier atau kurir yang berarti penghubung
atau seseorang yang bertugas menyampaikan sesuatu kepada orang atau tempat
lain. Seorang kurir harus menempuh suatu perjalanan untuk mencapai tujuan, maka
istilah kurikulum kemudian diartikan orang sebagai suatu jarak yang harus
ditempuh (S. Nasution, 1980 : 5).
Dari
istilah atletik kurikulum mengalami perpindahan arti ke dunia pendidikan.
Sebagai misal pengertian kurikulum seperti yang tercantum dalam Webster’s
Internasional Dictionary:
Curriculum: course, a
specified fixed course of study, as in a school or college, as one leading to a
degree.
Kurikulum
kemudian diartikan sebagai sejumlah mata pelajaran atau ilmu pengetahuan yang
ditempuh atau dikuasai untuk mencapai suatu tingkat tertentu atau ijazah.
Disamping itu kurikulum juga diartikan sebagai suatu rencana yang sengaja
dirancang untuk mencapai sejumlah tujuan pendidikan. Itulah sebabnya orang pada
masa lalu juga menyebut kurikulum dengan istilah “Rencana Pelajaran” yang
merupakan terjemahan istilah Leerplan. Rencana pelajaran merupakan salah satu
komponen dalam asas-asas didaktik yang harus dikuasai (atau paling tidak
diketahui) oleh seorang guru atau calon guru.
Definisi-definisi
kurikulum yang bersifat tradisional biasanya masih menampakkan adanya
kecenderungan penekanan pada rencana pelajaran untuk menyampaikan mata
pelajaran (subject matter) kepada anak didik yang biasanya berisi kebudayaan
(hasil budi daya) masa lampau atau sejumlah ilmu pengetahuan. Anak yang berhasil
melewati tahap ini akan berhak memperoleh ijazah. Kebudayaan atau sejumlah ilmu
pengetahuan yang akan disampaikan tersebut bersumber pada buku-buku yang baik
atau yang dianggap bermutu, sehingga kurikulum terutama dalam hal instruksional
dan pemilihan bahan pengajaran lebih banyak ditentukan atau dipengaruhi
buku-buku tersebut.
Dihubungkan
dengan kebutuhan pengalaman anak yang diharapkan terpenuhi melalui kegiatan
belajar mengajar di sekolah, ternyata hal tersebut kurang menguntungkan karena
ia membatasi pengalaman anak dalam proses belajar mengajar di kelas saja dan
kurang memperhatikan pengalaman-pengalaman lain yang diperoleh di luar kelas.
Kurikulum yang bersifat demikian, hanya menekankan aspek intelektual saja yang
harus dikuasai siswa dan mengabaikan aspek-aspek yang lain yang juga sangat
berpengaruh dalam perkembangan kejiwaan siswa. Kurikulum macam ini biasa
disebut Subject Centered Curriculum, yaitu kurikulum yang berpusat pada materi
pelajaran.
Sejalan
dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat, pendirian tradisional
mengenai kurikulum tersebut mulai ditinggalkan orang karena dianggap terlalu
sempit dan terbatas. Atau paling tidak orang berusaha mencari
kemungkinan-kemungkinan baru, sebab pada kenyataannya pula seperti halnya dengan
masalah-masalah lain, belum dapat meninggalkan (atau tak mungkin meninggalkan)
sama sekali pendirian kaum tradisional. Berdasarkan pendirian di atas, yakni
pendirian tradisional, kurikulum yang dijalankan (mau tak mau) berpusat pada
guru atau disebut Teachar Centered Curriculum. Pandangan yang lebih kemudian
ingin mengubah pandangan tersebut dengan memperhatikan minat dan kebutuhan
anak, karena anaklah sebenarnya yang menjadi subjek didik. Anak tak boleh hanya
diperlakukan sebagai objek yang statis, melainkan harus diperhatikan
kebutuhannya sesuai dengan perkembangan jiwanya. Oleh karena itu, terjadilah
pergeseran dalam dunia pendidikan dari subject atau teacher centered ke student
centered. Kurikulum yang sesuai dengan pandangan terakhir itu disebut Child Centered
Curriculum. Hal itu terutama disebabkan oleh pengaruh penemuan-penemuan di
bidang psikologi, khususnya psikologi perkembangan.
Setiap
lembaga pendidikan baik formal maupun nonformal dalam penyelenggaraan kegiatan
sehari-harinya berlandaskan kurikulum. Kurikulum itu sendiri dalam hal ini
dapat berupa (1) rancangan kurikulum, yaitu buku kurikulum suatu lembaga
pendidikan; (2) pelaksanaan kurikulum, yaitu proses pendidikan untuk mencapai
tujuan pendidikan; dan (3) evaluasi kurikulum, yaitu penilaian atau penelitian
hasil-hasil pendidikan. Dalam lingkup pendidikan formal, kegiatan merancang,
melaksanakan, dan menilai kurikulum tersebut, yaitu yang dimaksudkan untuk
mencapai tujuan pendidikan, dilaksanakan sebagai program pengajaran.
Berbicara
fungsi kurikulum kita dapat meninjaunya dari tiga segi, yaitu fungsi bagi
sekolah yang bersangkutan, bagi sekolah pada tingkat di atasnya, dan fungsi
bagi masyarakat (Winarno Surahmad: 6).
1.
Fungsi bagi sekolah yang bersangkutan
Pertama,
sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan yang
diinginkan.manifestasi kurikulum dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah
adalah berupa program pengajaran. Program pengajaran itu sendiri merupakan
suatu system yang terdiri dari berbagai komponen yang kesemuanya dimaksudkan sebagai
upaya untuk mencapai tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan yang akan dicapai
tersebut disusun secara berjenjang mulai dari tujuan pendidikan yang bersifat
nasional sampai tujuan instruksional. Jika tujuan instruksional tercapai
(hasilnya langsung dapat diukur melalui kegiatan belajar mengajar di kelas)
pada gilirannya akan tercapai pula tujuan-tujuan pada jenjang diatasnya. Setiap
kurikulum sekolah pasti di dalamnya tercantum tujuan-tujuan pendidikan yang
akan atau harus dicapai melalui kegiatan pengajaran.
Kedua,
kurikulum dijadikan pedoman untuk mengatur kegiatan-kegiatan pendidikan yang
dilaksanakan di sekolah. Dalam pelaksanaan pengajaran misalnya, telah
ditentukan macam-macam bidang studi, alokasi waktu, pokok bahasan atau materi
pelajaran untuk tiap semester, sumber bahan, metode atau cara pengajaran, alat
dan media pengajaran yang diperlukan. Di samping itu, kurikulum juga mengatur
hal-hal yang berhubungan dengan jenis program, cara penyelenggaraan, strategi
pelaksanaan, penanggungjawab, sarana dan prasarana, dan sebagainya.
2.
Fungsi bagi sekolah tingkat di atasnya
Dalam
hal ini kurikulum dapat untuk mengontrol atau memelihara keseimbangan proses
pendidikan. Dengan mengetahui kurikulum sekolah pada tingkat tertentu, maka
kurikulum pada tingkat di atasnya dapat mengadakan penyesuaian. Misalnya saja,
jika suatu bidang studi telah diberikan pada kurikulum sekolah di tingkat
bawahnya, harus dipertimssbangkan lagi pemilihannya pada kurikulum sekolah
tingkatan di atasnya terutama dalam hal pemilihan bahan pengajaran. Penyesuaian
bahan tersebut dimaksudkan untuk menghindari keterulangan penyampaian yang bias
berakibat pemborosan waktu, dan yang lebih penting lagi adalah untuk menjaga
kesinambungan bahan pengajaran itu.
Di
samping itu, terdapat juga kurikulum yang berfungsi untuk menyiapkan tenaga
pengajar. Bila suatu sekolah atau lembaga pendidikan bertujuan menghasilkan
tenaga guru (LPTK), maka lembaga tersebut harus mengetahui kurikulum sekolah
pada tingkat dibawahnya tempat calon guru yang dipersiapkan itu akan mengajar.
3.
Fungsi bagi masyarakat
Para
tamatan sekolah memang dipersiapkan untuk terjun di masyarakat atau tegasnya
untuk bekerja sesuai keterampilan profesi yang dimilikinya. Oleh karena itu,
kurikulum sekolah haruslah mengetahui atau mencerminkan hal hal yang menjadi
kebutuhan masyarakat atau para pemakai keluaran sekolah. Untuk keperluan itu
perlu ada kerja sama antara pihak sekolah dengan “pihak luar” dalam hal
pembenahan kurikulum yang diharapkan. Dengan demikian, masyarakat atau para pemakai
lulusan sekolah dapat memberikan bantuan, kritik atau saran-saran yang berguna
bagi penyempurnaan program pendidikan di sekolah.
Dewasa
ini kesesuaian antara program kurikulum dengan kebutuhan masyarakat (baca:
lapangan pekerjaan) harus benar-benar diusahakan. Hal itu mengingat seringnya
terjadi kenyataan bahwa lulusan sekolah belum siap pakai atau tidak sesuai
dengan tenaga yang dibutuhkan dalam lapangan pekerjaan. Akibatnya, walau
semakin menumpuk tenaga kerja yang ada, kita tak dapat mengisi lapangan
pekerjaan yang tersedia karena tak memiliki keterampilan atau keterampilan yang
dimilikinya tak sesuai dengan yang dibutuhkan pada lapangan pekerjaan. Untuk
mengatasi kesenjangantersebut, ada seorang tokoh pendidikan yang mengemukakan
agar pada sekolah tingkat SD sudah dibuat menjadi dua jalur, yaitu jalur
akademis (dipersiapkan untuk melanjutkan sekolah) dan jalu vokasional
(dipersiapkan untuk segera bekerja). Hal itu berdasarkan kenyataan penelitian
bahwa masih sebagian besar anak tamatan SD yang tidak meneruskan pendidikan ke
tingkat da atasnya.
Penyiapan
keterampilan para tamatan sekolah untuk bekal terjun di masyarakat kerja, juga
ditentukan oleh misi suatu sekolah, apakah ia sekolah umum atau kejuruan. Misi
suatu sekolah apakah ia bertugas mempersiapkan tamatannya untuk meneruskan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi (jalur akademis), atau untuk bekerja
(jalur vokasional), atau untuk kedua-duanya, akan mewarnai pendidikan
keterampilan yang diajarkan oleh pihak sekolah yang bersangkutan. Dengan adanya
hal itu, para pemakai lulusan sekolah tentunya sudah tanggap, lulusan dengan
keterampilan mana (atau apa) yang mereka butuhkan, dan itu harus dialamatkan
pada sekolah yang sesuai dengan misinya.
DAFTAR
PUSTAKA
Nurgiyantoro, Burhan,
1988, Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum
Sekolah (Sebuah Pengantar Teoritis dan Pelaksanaan),Yogyakarta: BPFE.
Sukmadinata, Nana
Syaodih, 1997, Pengembangan Kurikulum
Teori dan Praktek, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
No comments:
Post a Comment