A. Proses Akulturasi Budaya Jawa dan Islam
Orang
Jawa sangat yakin adanya Allah, dan seperti halnya orang muslim pada umumnya,
merekapun percaya bahwa Muhammad itu Nabi-Nya. Demikian pula disadari bahwa
orang yang baik dalam hidupnya akan masuk surga dan orang yang banyak berbuat
dosa akan masuk neraka. Mereka tahu bahwa Al-Qur’an merupakan kitab suci agama
Islam dan memuat firman-firman Allah dan berisi tentang imbauan, pahala, dan
ancaman. Setiap orang paling sedikit membaca syahadat bila akan dikhitan, nikah
dan paling tidak dapat mengucap atau membaca Al-Fatihah. Selain itu, orang Jawa
juga tahu akan konsep-konsep agama lain,
makhluk-makhluk ghaib, dan kekuatan sakti serta melakukan ritual dan
upacara keagamaan yang justru tidak ada sangkut pautnya dalam agama Islam yang
resmi.
Dalam
proses pengajaran Islam di Jawa terdapat dua pendekatan tentang bagaimana cara
yang ditempuh agar nila-nilai Islam diserap menjadi bagian dari budaya Jawa.
Pendekatan yang pertama disebut Islamisasi Kultur Jawa. Melalui pendekatan
ini budaya Jawa diupayakan agar tampak bercorak Islam, baik secara formal
maupun secara substansial. Upaya ini ditandai dengan penggunaan istilah-istilah
Islam, nama-nama Islam pengambilan peran tokoh Islam pada berbagai cerita lama,
sampai kepada penerapan hukum-hukum, norma-norma Islam dalam berbagai aspek
kehidupan. Adapun pendekatan yang kedua disebut Jawanisasi Islam, yang
diartikan sebagai upaya penginternalisasian nilai-nilai Islam melalui cara
penyusupan ke dalam budaya Jawa.
Melalui
cara pertama, islamisasi dimulai dari aspek formal terlebih dahulu sehingga
simbol-simbol keislaman nampak secara nyata dalam budaya Jawa. Sedangkan cara
kedua, meskipun istilah-istilah dan nama-nama Jawa tetap dipakai, tetapi nilai
yang dikandungnya adalah nilai-nilai Islam sehingga Islam menjadi men-Jawa.
Berbagai kenyataan menunjukkan bahwa produk-produk budaya Orang Jawa yang
beragama Islam cenderung mengarah pada polarisasi Islam kejawan (Jawa
yang keislaman) sehingga timbul istilah Islam Jawa atau Islam Kejawen.
Sebagai contoh pada nama-nama orang banyak dipakai nama seperti Abdur Rahman,
Abdur Razaq, meskipun orang Jawa menyebutnya Durrahman, Durrajak, dan
lain-lain. Begitu juga penggunaan sebutan Jawa narimo ing pandum yang
pada hakekatnya adalah penterjemahan dari tawakkal sebagai konsep
sufistik. Dalam fiqih terdapat konsep sepikul-segendongan sebagai bentuk
pembagian harta waris dari konsep Islam, perbandingan 2:1 bagi anak laki-laki
dengan anak perempuan. Demikian juga bentuk fisik tempat ibadah Islam (masjid)
masih mengacu kepada bangunan tempat ibadah agama terdahulu (Hindu).
Sebagai
suatu cara pendekatan dalam proses akulturasi, kedua kecenderungan itu
merupakan strategi yang sering diambil ketika dua kebudayaan saling bertemu.
Apalagi pendekatan itu sesuai dengan watak orang Jawa yang cenderung bersikap
moderat serta mengutamakan keselarasan. Namun, persoalan yang muncul dan sering
menjadi bahan perbincangan di kalangan para pengamat adalah makna yang
terkandung dari percampuran kedua budaya tersebut. Mereka memiliki penilaian
yang berbeda ketika dimensi keberagamaan orang Islam Jawa termanifestasikan
dalam kehidupan sehari-hari. Sebagian mereka menilai bahwa percampuran itu
masih sebatas pada segi-segi lahiriyah sehingga Islam hanya sebagai kulitnya saja,
sedangkan nilai-nilai esensialnya adalah Jawa. Sementara itu, sebagian yang
lain menilai sebaliknya, dalam arti nilai Islam telah menjadi semacam ruh dari
penampakan budaya Jawa kendatipun tidak secara konkret berlebel Islam.
Tampaknya
tradisi menyelaraskan antara Islam dan budaya Jawa ini telah berlangsung sejak
awal perkembangan Islam di Jawa. Dalam kehidupan keberagamaan, kecenderungan
untuk mengakomodasikan Islam dengan budaya Jawa setempat telah melahirkan
kepercayaan-kepercayaan serta upacara-upacara ritual. Adapun yang dimaksud
dengan budaya Jawa di sini adalah budaya sebelum Islam tersebar di Jawa, yakni
budaya yang bersumber dari ajaran-ajaran agama Hindu-Budha yang bercampur aduk
dengan kepercayaan animisme dan dinamisme.
B. Respon Islam terhadap terhadap Budaya Jawa
Agama
Islam mengajarkan agar para pemeluknya melakukan kegiatan-kegiatan ritualistik
tertent. Yang dimaksud kegiatan ritualistik adalah meliputi berbagai bentuk
ibadah sebagaimana yang tersimpul dalam rukun Islam, yakni syahadat, shalat,
puasa, zakat dan haji. Khusus mengenai shalat dan puasa wajib di bulan
Ramadhan, terdapat pula shalat-shalat dan puasa-puasa sunnah. Intisari dari
shalat adalah doa. Oleh karena itu arti harfiah shalat juga doa yang ditujukan
kepada Allah SWT, sedangkan puasa adalah suatu pengendalian nafsu dalam rangka
penyucian rohani.
Ibadah
puasa sebagaimana yang telah disyariatkan oleh Islam telah mewarnai pula
perilaku orang Jawa, yakni sebagai bentuk penyucian rohani untuk melengkapi
doa-doa yang dipanjatkan kepada Tuhan. Di dalam masyarakat Jawa jika ingin
cita-cita terkabul selain berdoa juga harus puasa. Seperti puasa senin kamis
dan puasa lainnya yang biasanya disebut tirakat, dimana kata tersebut
berasal dari konsep Islam yakni taraka yang berarti meninggalkan. Yang
dalam konsepnya tidak jauh berbeda dengan siyam atau shaum.
Sebagai
institusi pendidikan, pesantren adalah wujud kesinambungan budaya Hindhu-Budha
yang di islamkan secara damai. Lembaga GURU CULA juga ditemukan pada masa
pra-Islam di Jawa. Lembaga ini pada Islam datang tidak dimusnahkan, melainkan
dilestarikan dengan modifikasi substansi nuansa Islam.
Secara
historis, asal usul pesantren tidak dapat dipisahkan dari sejarah pengaruh
Walisongo abad 15-16 di Jawa. Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang
unik di Indonesia.
Islam
adalah agama damai yang tidak mengenal sistem kasta seperti pada masa Hindu-Budha.
Namun, pada realitanya terdapat beberapa golongan yaitu gonongan santri,
abangan dan priyayi. Walaupun sebenarnya golongan ini tidaklah untuk membedakan
status sosial seseorang, namun penggolongan ini ada berdasarkan pemahaman mana
yang lebih baik di antara mereka tentang Islam yang dianut di Jawa dahulu dan
sekarang atau tingkat kekuatan mereka menjalankan ibadah agama Islam.
Sebenarnya penggunaan istilah abangan, santri dan priyayi dalam klasifikasi
masyarakat Jawa dalam golongan agama adalah tidak tepat, karena ketiga golongan
yang disebutkan tadi tidak bersumber pada sistem klasifikasi yang sama karena
hanya abangan dan santri yang termasuk dalam penggolongan dalam ibadah agama
Islam, sedangkan priyayi adalah suatu penggolongan sosial.
Sebagian
besar orang Jawa memeluk agama Islam, namun terdapat beberapa ragam dalam
pengalaman ajaran Islam. Mereka mengaku orang Islam tetapi dalam kategori umum,
pengakuan semacam itu mereka sendiri dengan jelas membedakan antara para santri
yaitu para orang muslim yang taat menjalankan syariat dengan sungguh-sungguh
dan para abangan yang tidak seberapa mengindahkan ajaran Islam, sementara cara
hidupnya lebih dipengaruhi oleh tradisi Jawa pra-Islam.
C. Hubungan antara Budaya dan Islam dalam Aspek
Kepercayaan
Setiap
agama memiliki aspek fundamental, yakni aspek kepercayaan dan keyakinan. Dalam
agama Islam, aspek fundamental itu terumuskan dalam istilah aqidah atau
keimanan sehingga terdapat rukun iman yang harus dipercayai oleh setiap muslim.
Yang termasuk dalam rukun iman adalah percaya kepada Allah, para malaikat-Nya,
para nabi-Nya, kitab-kitab suci-Nya, hari akhir, dan percaya kepada qadha
dan qodar. Namun demikian, di luar semua itu masih terdapat unsur-unsur
keimanan yang lain seperti percaya kepada adanya setan, iblis, syafaat Nabi
Muhammad, dan lain-lain.
Sementara
itu, dalam budaya Jawa pra Islam yang bersumber dari ajaran agama Hindu
terdapat kepercayaan tentang adanya para Dewata seperti Dewa Brahma, Dewa
Wisnu, dan Dewa Siwa, serta masih banyak lagi para dewa yang lain. Demikian
juga terdapat kepercayaan terhadap kitab-kitab suci, orang-orang suci (resi),
roh-roh jahat, lingkaran penderitaan (samsara), hukum karma, dan hidup
bahagia abadi (moksa). Sedangkan
dalam agama Budha terdapat kepercayaan tentang empat kasunyatan
(kebenaran abadi), yakni dukha (penderitaan), samudaya (sebab
penderitaan), nirodha (pemadaman
kedinginan), dan marga (jalan kelepasan). Kelepasan yang dimaksud adalah
nirwana dan untuk sampai ke nirwana harus menempuh delapan jalan
kebenaran, semacam rukun iman dalam agama Budha. Tuhan agama Budha itu Sang
Hyang Adi Budha.
Adapun
pada agama primitif sebagai agama orang Jawa sebelum kedatangan agama
Hindu-Budha, inti kepercayaannya adalah percaya kepada daya-daya kekuatan ghaib
yang menempati pada setiap benda (Dinamisme), serta percaya pada roh-roh
ataupun makhluk halus yang menempati pada benda atau berpindah-pindah dari
suatu tempat ke tempat lain, baik benda hidup maupun benda mati (Animsme).
Kepercayaan dari agama Hindhu, Budha, Dinamisme, dan Animisme itulah yang dalam
proses perkembangan Islam berinterelasi dengan kepecayaan-kepercayaan dalam
Islam.
Pada
aspek ketuhanan, prinsip ajaran tauhid Islam telah berkelindan dengan
berbagai unsur keyakinan Hindu-Budha maupun kepercayaan primitif. Sebutan Allah
dengan berbagai nama yang terhimpun dalam asma’ul husna telah berubah
menjadi Gusti Allah, Gusti Kang Murbeng dumadi (al-Khaliq), Ingkang Maha
Kuwaos (al-Qadi’), Ingkang maha Esa (al-Ahad), Ingkang Maha Suci, dan
lain-lain. Nama-nama itu bercampur dengan nama dari agama lain sehingga muncul
sebutan Hyang Maha Agung (Allahu Akbar), Hyang Widi, Hyang Jagad Nata (Allah
Rabb al-alamin), atau Sang Hyang Maha Luhur (Allah Ta’ala). Kata
Hyang berarti Tuhan atau lebih tepatnya dewa, sehingga ka-Hyang-an diartikan
sebagai tempat para dewa. Namun, dalam kehidupan sehari-hari orang Jawa sudah
terbiasa dengan menyebut Gusti Allah, sehingga orang Jawa sudah terbiasa
mengucap “bismillah” ketika akan memulai pekerjaan apapun yang baik. Demikian
juga ucapan Ya Allah Gusti ketika berdoa, astaghfirullah ketika
merasa kecewa, dan lain sebagainya.
Berkaitan
dengan sisa-sisa kepercayaan animisme dan dinamisme, kepercayaan
mengesakan Allah itu sering menjadi tidak murni karena tercampur dengan
penuhanan terhadap benda-benda yang dianggap keramat, baik benda mati
maupun benda hidup. Arti keramat di sini bukan hanya sekedar berarti
mulia, terhormat, tetapi memiliki daya magic, sebagai sesuatu yang sakral
bersifat illahiyah. Dalam tradisi Jawa terdapat berbagai jenis barang yang
dikeramatkan. Ada yang disebut azimat, pusaka, dalam bentuk tombak, keris, ikat
kepala, cincin, batu akik dan lain-lain. Barang-barang peninggalan para raja
Jawa (kyai) yang disebut benda pusaka, pada umumnya dipandang sebagai
benda-benda keramat. Manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan tertentu dipandang
suci, keramat dan bertuah. Begitu juga kuburan-kuburan atau
petilasan-petilasan, hari-hari tertentu, dipandang memiliki barokah atau juga
bisa membawa kesialan. Benda-benda atau orang-orang keramat keramat itu
dipandang sebagai penghubung (wasilah) dengan Allah. Oleh karena itu,
bacaan doa-doa tertentu berubah menjadi mantra, ayat-ayat suci Al-Quran menjadi
rajahan yang diyakini memiliki nilai yang sangat berarti, bukan dari
makna yang terkandung di dalam ayat-ayat itu melainkan dari daya ghaibnya.
Demikian juga Al-Quran tidak dibaca, dipahami, dihayati arti dan maknanya
sebagai petunjuk hidup yang diberikan Allah kepada manusia, tetapi dipandang
sebagai azimat.
Kaitannya
dengan ketentuan (takdir) baik ataupun buruk dari Tuhan, dalam budaya Jawa
tampaknya telah terpengaruh oleh teologi Jabariyah sehingga terdapat kecenderungan
orang lebih bersikap pasrah, sumarah, dan narimo ing pandumIterhadap
ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh Allah. Meskipun demikian manusia
juga mempunyai peluang untuk berikhtiar dengan kemampuan yang dimiliki,
setidak-tidaknya dengan berdoa, memohon pertolongan kepada-Nya. Namun, terdapat
pula upaya-upaya ikhtiari yang lebih diwarnai oleh nilai-nilai yang bersumber
dari kepercayaan primitif maupun agama Hindu-Budha. Tempat-tempat yang baik,
hari, bulan, dan tahun yang membawa kepada nasib baik itu perlu dicari dan
ditentukan dengan cara-cara magic. Hari-hari yang jelek sering disebut
sebagai hari na’as. Dan pada hari na’as ini sebaiknya orang tidak melakukan
kegiatan-kegiatan seperti akad nikah, perjalanan jauh, transaksi dagang, dan lain-lain.
Perhitungan-perhitungan magic dengan melihat neptu dari hari dan pasaran
menurut rumus-rumus tertentu sangat menolong untuk mencari dan menentukan hari
baik, bulan baik, serta menghindari hari-hari na’as. Tapi jika hari na’as
itu tak dapat dihindari, maka perlu diusahakan upacara-upacara untuk
menetralisir akibat negatif yang ditimbulkan dari hari na’as tersebut.
Dengan demikian, upacara tertentu memiliki kekuatan ghaib yang bersifat
menangkal (kontra produktif) terhadap akibat buruk yang bakal menimpa.
Upacara-upacara dalam agama Hindu tampak memiliki muatan seperti itu, yang
diwujudkan dalam bentuk sesaji. Sesaji merupakan warisan budaya Hindu,
sedangkan doa merupakan inti ibadah dalam Islam. Keduanya menjadi tradisi di
kalangan kebanyakan orang Islam di Jawa.
Kepercayaaan
terhadap makhluk jahat tidak hanya ada pada ajaran islam, tetapi juga ada pada
agama Hindu maupun kepercayaan primitif. Dalam agama islam makhluk jahat itu
disebut syaithan, yang dalam lidah jawa disebut setan, dan pemimpin setan itu
disebut iblis. Pekerjaan setan adalah menggoda manusia sehingga setan dipandang
sebagai musuh manusia. Selain setan sebagian dari jin termasuk golongan jahat. Mereka juga sering menggoda
manusia, meskipun sebagian diantara mereka dapat dimanfaatkan untuk membantu
manusia. Kepercayaan jawa yang berasal dari agama islam maupun agama hindu
tampaknya telah saling mengisi.
Menurut
keyakinan Islam, orang yang sudah meninggal dunia ruhnya tetap hidup dan
tinggal sementara di alam kubur atau alam barzah, yakni alam
sebelum memasuki alam akhirat tanpa kecuali, apakah orang tua atau anak-anak.
Kepercayaan tersebut telah mewarnai orang Jawa. Hanya saja menurut orang Jawa,
arwah orang-orang tua sebagai nenek moyang yang telah meninggal dunia
berkeliaran di sekitar tempat tinggalnya atau sebagai arwah leluhur menetap di makam (pasareyan). Mereka masih mempunyai
kontak hubungan dengan keluarga yang masih hidup sehingga suatu saat arwah itu nyambangi
datang ke kediaman anak keturunan. Roh-roh yang baik yang bukan roh nenek
moyang atau kerabat disebut dhanyang, bahureksa, atau sing ngemong.
Dhanyang ini dipandang sebagai roh yang menjaga dan mengawasi seluruh
masyarakat desa. Dari sinilah kemudian timbul upacara bersih desa, termasuk
membersihkan makam-makam disertai dengan kensduren maupun sesaji, dengan maksud
agar sang dhanyang akan selalu memberikan perlindungan. Di sisi lain
atas dasar kepercayaan Islam bahwa orang yang meninggal dunia perlu dikirimi
doa, maka muncul tradisi kirim donga (doa), tahlilan tujuh hari, empat
puluh hari, seratus hari (nyatus), satu tahun (mendhak), dan
seribu hari (nyewu) setelah seseorang meninggal dunia. Doa kepada orang
yang meninggal dunia merupakan anjuran menurut ajaran Islam, sedangkan
penentuan hari-hari sebagai saat pelaksanaan upacara kirim doa lebih diwarnai
oleh warisan budaya Jawa pra Islam.
Orang
jawa menyelenggarakan slametan dengan tujuan untuk mengeratkan tali
persaudaraan antara satu dengan yang lain, karena dalam slametan tidak terdapat
perbedaan, semuanya sama. Lagi pula slametan menjaga orang jawa dari gangguan
roh-roh halus. Kecenderungan untuk menyatakan implikasi tingkah laku sosial
efek akhirnya adalah tak seorangpun merasa lebih rendah dari yang lain. Juag
setelah kita menyelenggarakan slametan, arwah setempat tidaka akan mengganggu
kita. Keadaan yang didambakan adalah slamet, yang oleh orang jawa didefinisikan
sebagai “gak ana apa-apa” (tidak ada apa-apa). Atau lebih tepatnya, “tak ada
yang akan menimpa (seseorang).
Beberapa nama Nabi juga dikaitkan dengan kepercayaan
orang Jawa tentang hari-hari atau bulan-bulan na’as. Pada hari-hari saat
na’asnya para Nabi, orang Jawa tidak boleh “mantu”, seperti: tanggal 13
bulan Sura (na’asnya Nabi Ibrahim yang dibakar oleh raja Namrud), tanggal 13
Mulud (na’asnya nabi Adam diturunkan ke dunia), tanggal 16 Rabi’ul Akhir
(na’asnya Nabi Yusuf tatkala dimasukkan ke dalam sumur), tanggal 5 Jumadil Awal
(na’asnya Nabi Nuh yang terlanda banjir), tanggal 24 Dzulqaidah (na’asnya Nabi
Yunus tatkala dimakan oleh ikan hiu).
Para
wali yang dipandang sebagai pewaris Nabi juga dipandang memiliki
kemampuan-kemampuan luar biasa, tidak saja ketika mereka masih hidup, tetapi
juga sesudah mereka meninggal dunia. Oleh karena itu, terdapat suatu tradisi ngalap
berkah di kalangan orang Jawa ketika mereka berziarah ke makam para
Walisongo yang memang dalam kenyataan sejarah para wali ini merupakan
tokoh-tokoh yang sangat berjasa dalam menyebarkan Islam di Jawa. Keyakinan
tentang wasilah untuk menghubungkan doa permohonan kepada Tuhan, tidak
saja dikaitkan dengan para Nabi, khususnya Nabi Muhammad, tetapi juga dengan
para wali.
D. Hubungan antara Budaya dan Islam dalam Aspek
Ritual
Agama
Islam mengajarkan agar para pemeluknya melakukan kegiatan-kegiatan ritualistik
tertentu. Yang dimaksud dengan kegiatan ritualistik adalah meliputi berbagai
bentuk ibadah sebagaimana yang tersimpul dalam rukun Islam, yakni syahadat,
shalat, zakat, puasa dan haji. Khusus mengenai shalat dan puasa, disamping
terdapat shalat wajib lima waktu dan puasa wajib di bulan Ramadhan, terdapat
pula shalat-shalat dan puasa-puasa sunnah. Intisari dari shalat adalah doa yang
ditujuksn kepada Allah. Sedangkan puasa adalah suatu bentuk pengendalian nafsu
dalam rangka penyucian rohani. Aspek doa dan puasa tampak mempunyai pengaruh
yang sangat luas, mewarnai berbagai bentuk upacara tradisional orang Jawa.
Bagi
orang Jawa, hidup ini penuh dengan upacara, baik upacara-upacara yang berkaitan
dengan lingkaran hidup manusiasejak dari keberadaannya dalam kandungan, lahir,
kanak-kanak, remaja, dewasa sampai dengan saat kematiannya, atau juga
upacara-upacara yang berkaitan dengan aktivitas kehidupan sehari-hari dalam
mencari nafkah, khususnya bagi para petani, pedagang, nelayan, dan
upacara-upacara yang berhubungan dengan tempat tinggal, seperti membangun
gedung, meresmikan rumah tinggal, pindah rumah, dan lain sebagainya.
Upacara-upacara itu semula dilakukan dalam rangka untuk menangkal pengaruh
buruk dari daya kekuatan ghaib yang tidak dikehendaki yang akan membahayakan
bagi kelangsungan kehidupan manusia. Dalam kepercayaan lama, upacara dilakukan
dengan mengadakan sesaji atau semacam korban yang disajikan kepada daya-daya
kekuatan ghaib (roh-roh, makhluk halus, dewa-dewa) tertentu. Tentu dengan
upacara itu harapan pelaku upacara agar hidup senantiasa dalam keadaan selamat.
Secara
luwes Islam memberikan warna baru pada upacara-upacara itu dengan sebutan kenduren
atau slametan. Di dalam upacara slametan ini yang pokok adalah
pembacaan doa (donga) yang dipimpin oleh orang yang dipandang memiliki
pengetahuan tentang Islam, yakni seorang modin atau kyai. Selain
itu, terdapat seperangkat makanan yang dihidangkan bagi para peserta slametan,
serta makanan yang dibawa pulang ke rumah masing-masing peserta slametan yang
disebut dengan berkat. Makanan-makanan itu disediakan oleh penyelenggara
upacara yang sering disebut dengan shahibul hajat. Dalam bentuknya yang
khas, makanan inti adalah nasi tumpeng dan ingkung ayam.
Beberapa
jenis upacara Islam kejawen antara lain: upacara tingkeban atau mitoni,
upacara kelahiran atau kekah, upacara sunatan, upacara
perkawinan atau aqad nikah (ijab qabul), upacara kematian
(slametan mitung dina / tujuh hari, 40 hari/matang puluh, 100
hari/nyatus, satu tahun/mendhak sepisan, dua tahun/mendhak
pindo, dan seribu hari/nyewu. Bentuk upacara lain yang berkenaan
dengan kekeramatan bulan-bulan hijriyah seperti upacara Bakda Besar, Suran,
Mbubar Suran, Muludan, Saparan, Ruwahan, Rejeban, Maleman, Syawalan (Kupatan)
dan sedekahan haji.
DAFTAR
PUSTAKA
Amin,
Darori. Islam dan Kebudayaan Jawa. Bandung: Gama Media. 2000.
Geertz,
Clifford. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta:
Pustaka Jaya. 1981.
Hariwijaya,
M. Islam Kejawen. Yogyakarta: Gelombang Pasang. 2006.
Sofwan, Ridin,
dkk. Merumuskan Kembali Interelasi Islam Jawa. Yogyakarta : Gama Media.
2004.
Zaini,
Muchtarom. Islam di Jawa dalam Perspektif santri dan Abangan. Jakarta:
Selemba Diniyah. 2002.
No comments:
Post a Comment