Perkembangan Kurikulum MIPA yang sesuai Kurikulum
pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat
Kurikulum sebagai salah
satu bagian penting dari system pendidikan islam telah ada sejak periode awal
keberadaan pendidikan islam, yaitu pada masa hidup Rasulullah Muhammad SAW.
Mata pelajaran yang menjadi bagian penting dari kurikulum pada periode tersebut
adalah berupa membaca, menulis dan syair arab (Salabi 1954:16), Al-Quran dan
Hadits, tata bahasa, Retorika dan prinsip-prnsip hokum (Ashraf 1985: 29-30).
Sejalan dengan
perkembangan pendidikan islam, khususnya ketika pendidikan islam dilaksanakan
dalam bentuk formal, kurikulum pada lembaga-lembaga pendidikan islam mengalami
perkembangan. Puncak perkembangannya itu terjadi pada masa kemajuan peradaban
islam dimasa klasik pertengahan. Kurikulum yang ada pada lembaga-lembaga
pendidikan islam pada masa itu meliputi matematika(aljabar, trigonometri, dan
geometri), sains (kimia, fisika dan astonomi), ilmu kedokteran (anatomi,
pembedahan, farmasi dan cabang-cabang ilmu kedokteran khusus), filssafat
(logika, etika dan metafisika), kesusasatraan (filologi, tata bahasa, puisii
dan persajakan), ilmu-ilmu sosial (sejarah, geografi, disiplin-displin yang
berhubungan dengan politik hokum sossiologi, psikologi, jurisprudensi (fikih),
teologi (perbandingan agama), sejarah agama, study al-Quran, tradisi rligius
(hadits) dan topic-topik ilmu keagamaan lainnya (Nakosteen 1996:71).
Berdasarkan isi atau
materi kurikulum diatas terlihat bahwa
pada masa itu lembaga-lembaga pendidikan islam telah memiliki kurikulum yang
memuat sejumlah ilmu pengetahuan yang cukup lengkap, meliputi ilmu-ilmu
keagamaan (syariah), dan ilmu-ilmu alamiah (qauniyah). Mata pelajaran yang
terdapat dalam kurikulum lembaga pendidikan islam sejak periode awal pendidikan
islam hingga masa kejayaannya (masa klasik) itu dipandang sebagai satu
kesatuanyang terpadu (monisme), dalam arti tidak ada pemisahan antara
pengetahuan umum dan keagamaan. Meskipun terjadi pengklasifikasiaan atau
pemilahan antara ilmu pengetahuan umum dan keagamaan seperti yang dilakaukan
oleh Al-Farabi, Al-Ghazali, dan para filosof lainnya. Namun mereka tetap
menganggap bahwa semua ilmu pengetahuan umum itu merupakan bagian dari khazanah
dari ilmu pngetahuan islam yang harus dimilki dan dipelajari oleh setiap umat
muslim dan bermuara kepada semangat pengabdian kepada Allah SWT.
Ketika islam memasuki
zaman kemundurannya, pandangan monisme
terhadap ilmu pengetahuan dalam dunia pendidikan mengalami perubahan dan
reduksi. Salah satu perubahan yang
sangat mendasar ialah lahirnya pandangan dikotomis, yakni pandangan yang
memisahkan ilmu pengetahuan umum dan pengetahuan keagamaan. Menurut Nasution,
(986:987-99), sejak kurun itu pengetahuan umum (pengetahuan produk nalar
dianggap terpisah dari pengetahuan keagamaan dan dianggap sebagai pengetahuan
plengkap dan bahkan “dimakuhkan” sebagaimana juga yang dikemukakan Azyumardi
Azra (dalam Stanton, 1994: vii) bahwa setelah terjadi pergantian dominasi dari
muktazilah ke sunni, ilmu pengetahuan umum yang sangat dicurigai dan diangggap
makruh itu dihapus dari kurikulum lembaga pendidikan islam, khususnya
dimadrasah. Mereka yang berminat mempelajari ilmu-ilmu umum tepaksa
mempelajarinya secara sendiri-sendiri dan sembunyi-sembunyi atau “dibawah
tanah”, karena ilmu-ilmu tersebut dipandang sebagai ilmu-ilmu subversive yang
dapat dan akan menggugat kemapanan doktrin mapan sunni, terutama dalam bidang
kalam (teologi) dan fiqih.
Di Indonesia telah terjadi dikotomo
yang cukup mendasar dan meluas. Dikotomi tersebut terjadi dalam bentuk
pemisahan kelembagaan pendidikan, sehingga terdapat lembaga pendidikan umum
(nasional) dan lembaga pendidikan keagaman (islam). Begitu juga telah terjadi
pemisahan antara pelajaran umum dan pelajaran keagamaan. Hal itu berimbas pula
pada penyiapan guru, sehingga ada guru umum yang hanya ahli dan menekuni mata
pelajaran umum dan guru agama yang hanya dan ahli menekuni mata pelajaran
keagamaan.
Upaya
untuk menyelesaikan persoalan dikotomi itu bukannya tidak ada. Fazlur Rahman
(1982: 130-131) menyebutkan setidaknya ada dua pola yang pernah dilakukan
diberbagai Negara muslim. Pertama, dengan menerima pendidikan sekuler modern
sebagaimana telah berkemabgan secara umum dibarat dan mencoba untuk
“mengislamkannya” dengan cara mengisinya dengan konep-konsep tertentu dari
islam. Kedua, dengan cara menggabungkan atau memadukan cabang-cabagn
pengetahuan modern dengan cabang-cabang keislaman tradisional yang diberikan
secara bersama-sama disuatu lembaga pendidikan. Dengan latar belakang terebut,
kami mencoba menyusun makalah dengan judul,”
Pendidikan
merupakan sebuah proses
pemanusiaan, yaitu proses
memanusiakan manusia oleh manusia, sebuah diskursus pendewasaan. Agenda proses
pemanusiaan dipandang sukses manakala dengan itu muncul manusia dewasa sejati, manusia
yang sarat dengan tampilan nilai-nilai kemanusiaan. Kedewaaan itu dapat dilihat
dari sisi pribadi, sosial, ekonomi, sebagai makhluk Tuhan, pemegang mandate
cultural. Di sini pendidikan dipandang sebagai proses penanaman modal dalam
bentuk manusia, di mana pendidikan merupakan proses menyiapkan manusia untuk
terjun di sector produktif. Untuk mencapai itu semua maka kurikulum pendidikan
juga harus maenyesuaikan dengan kebutuhan- kebutuhan yang ada. Kemudian
pertanyaannya adalah bagaimanakah kurikulum yang sesuai dengan
kebutuhan-kebutuhan tersebut?
Pertama,
laju transformasi kurikulum pada kelembagaan pendidikan formal atau diklat
dibandingkan dengan perubahah kebutuhan persyaratan kerja mengalami gap ibarat
laju deret hitung dan deret ukur.
Kurikulum
seharusnya tidk hanya bersifat teoritis tetapi harus lebih menekankan pada
kehidupan nyata. Ketika
kita belajar teori-teori tetapi tidak tahu kegunaan dari teori tersebut, maka
hal ini akan sia-sia. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai factor, misalnya ketika
kita belajar tentang konsep limit, diferensial, dan integral, mungkin kita
sangat mahir tentang konsepnya, kita dapat mengerjakan soal-soalnya. Tetapi
ketika ditanya apa kegunaan dari konsep limit, diferensial, dan integral yang
telah kita pelajari, pasti kita tidak akan tahu. Hal ini mungkin karena ketika
kita belajar kita didampingi oleh seorang guru, sedangkan guru kita ketika
belajar pun mengalami hal yang sama seperti kita, meraka hanya diberi teori-teori saja tidak ada praktiknya,
dan mereka pun tidak mau berusaha untuk mengembangkan
teori-teori tesebut. Sehingga konsep ‘pembodohan menjadi konsep turun temurun’.
Oleh karena itu kita harus mengambangkan teori-teori yang telah kita pelajari
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dalam bermasyarakat.
Kedua,
nafsu dunia kerja yang hanya ingin menerima calon tenaga yang benar-benar sudah
siap pakai membuat posisi lulusan pendidikan makin nelangsa.
Kurikulum
harus sesuai dengan dunia nyata, yaitu dunia setelah peserta didik lulus dari
sekolah. Belajar disekolah dengan kurikulum sekarang rasanya mubadzir hanya
membuang-buang waktu dan tenaga, karena kurikulum yang kita pelajari selama ini
tdak ada korelasinya
dengan kehidupan bermasyarakat. Kurikulum sekarang baru bisa bermanfaat ketika dipelajari ditingkat lebih lanjut, yaitu
diperguruan tinggi atau pasca sarjana. Sedangkan peserta didik yang hanya mampu
sekolah sampai tingkat SMA tidak dapat merasakan manfa’at apa yang mereka
pelajari selama ini, karena mereka hanya mendapatkan “ilmu-ilmu setengah matang”.
Pertanyaan kemudian adalah mengapa mareka masih mau bersekolah sedangkan mereka
mendapat ilmu yang tidak bermanfaat?
Karena sekarang untuk kedunia kerja membutuhkan sertifikat atau ijazah
tanpa disertai ilmu yang bermanfaat dikehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu
ilmu pengetahuan pun sulit untuk berkembang pesat. Padahal
Terwujudnya sistem pendidikan
yang tinggi menghasilkan insan yang berkarakter,
cerdas, dan terampil untuk membangun bangsa
Indonesia yang bermartabat dan berdaya saing melalui pengembangan ilmu,
teknologi, dan seni untuk kemajuan dan kesejahteraan umat manusia yang berkelanjutan.
Insan
Indonesia
yang berkarakter yaitu mereka yang bertaqwa kepada Tuhan YME, memiliki
integritas, jujur, toleran, bersemangat kebangsaan, serta menjunjung tinggi
nilai dan norma universal; cerdas
dalam hal ini dimaksudkan adalah insan yang memiliki kecerdasan
komprehensif yang meliputi kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional,
kecerdasan sosial, kecerdasan spiritual,
dan kecerdasan kinestetik. Di samping itu terampil
dimaksudkan bahwa lulusan perguruan tinggi memiliki keterampilan baik yang
secara langsung terkait dengan bidang ilmu yang dipelajari (hard skills) maupun
keterampilan strategis (soft skills) yang menjadikan mereka sebagai sumber daya
manusia (human capital) yang unggul.
1.
Penyesuaian kurikulum MIPA dengan hasil rekomendasi
Makkah 1977
Perkembangan
kurikulum bukan hal baru lagi bagi dunia pendidikan Indonesia. Sejak zaman
kemerdekaan sampai dengan sekarang ini telah terjadi beberapa kali perubahan
kurikulum. Perubahan atau penyempurnaan merupakan suatu keniscayaan seiring
dengan perubahan zaman dengan segala implikasinya. Pergantian kurikulum
merupakan bentuk pelaksanaan implementasi Undang-undang No.2 tahun 1989 tentang
sistem pendidikan Nasional.
Terkait dengan perubahan kurikulum dengan segala
implikasinya maka timbul pertanyaan penting tentang seberapa jauh pengaruh
perubahan kurikulum terhadap kinerja guru MIPA dalam merencanakan, melaksanakan
dan mengevaluasi proses pembelajan dikelas
Perubahan paradigma pendidikan saat Ini harus
mengubah pola dari teaching
(mengajar) ke learning (belajar),
sehingga peserta didik terdorong untuk terus belajar.
Melihat kenyataan pendidikan di dunia islam sekarang masih terjadi dikhotomi yang mana pendidikan agama terpisah
dari ilmu-ilmu sekuler membuat kosep pendidikan islam tidak mungkin menghasilkan wawasan yang komprehensif. Padahal ilmu-ilmu
sekuler mempunyaai korelasi dengan ilmu agama dalam pengaplikasiannya. Selain
itu, dalam proses pendidikan juga diperlukan kurikulum yang menjadi penyangga
utama dalam proses tersebut. Kurikulum memegang penting bagi keberhasilan
sebuah pendidikan peserta didik. Kurikulum
adalah ruh yang memberikan kehidupan bagi dunia pendidikan, dan juga mengandung banyak unsur konstruktif agar
pembelajaran terlaksana secara optimal, serta dapat membuka mindset
peserta didik yang progresif. Oleh karena itu permasalahan sekarang ini yang
dihadapi pendidikan islam adalah bagaimana menggabungkan ilmu agama dan
lmu-ilmu umum hususnya MIPA dalam prektik pembelajaran. kurikulum dianggap bermakna bila bahan
pelajaran dihubungkan atau di dasarkan atas pengalaman anak dalam kehidupan
sehari-hari.
Yang terpenting dari
kurikulum adalah bahan dari disiplin ilmu dan prosesnya. Peserta didik harus
diajarkan berpikir kritis untuk menemukan, menanggapi dan memecahkan masalah.
Apabila hal-hal demikian diperhatikan dengan baik maka pendidikan pun diyakini akan
berhasil. Berkembangnya zaman sekarang ini membutuhkan pembelajaran MIPA yang
mampu mengiringi kehidupan dengan basis agama.
Dalam
rekomendasi Makkah tahun 1977 yang menghasilkan konsep, sikap, tujuan,
kurikulum, serta silabus pendidikan islam, ada beberapa hasil yang butuh
pembenahan atau pembaharuan. Perlu
diperhatikan dalam pembelajaran MIPA apabila diterapkan dengan kurikulum hasil
Rekomendasi Makkah tahun 1977, dimana disebutkan bahwa yang terjadi dewasa ini
adalah bila kita menggunakan kebijakan pendidikan barat maka hasilnya
menjadikan konflik yang lama kelamaan betentangan dengan konsep islam. Padahal
yang selama ini kita ketahui bahwa banyak ilmuan-ilmuan MIPA yang berasal dari
negara barat dan model pembelajaran yang diterapkan di sana menghasilkan
pendidikan yang berkuwalitas. Selain itu melihat kurikulum sekarang ini harus
sesuai dengan zaman sekarang, karena kebutuhan masyarakat yang selalu berubah
akibat tututan perkembangan zaman dan proses mewujudkan negara dengan
masyarakat yang berwawasan komprehansif dan terpadu. Penerapkan pendidikan yang
berbasis kurikulum barat dengan tetap menggabungkan pelajaran agama yang
mempunyai korelasi yang mendukung satu sama lain, sehingga dikhotomi dalam
pendidikan akan semakin memudar, dan akan menghasilkan peserta didik dengan
kemampuan MIPA dan pengetahuan agama yang optimal.
2.
Kurikulum
MIPA dihubungkan dengan IPTEK berdasarkan Al-Quran dan Hadits
a.
Konsep IPTEK
Istilah IPTEK merupakan
singkatan dari Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dan merupakan paduan antara ilmu
pengetahuan (sains) dan teknologi. Sains dan teknologi merupakan dua sejoli
tidak terpisahkan; sains merupakan sumber teknologi dan teknologi merupakan
aplikasi sains. Sains dapat diartikan sebagai himpunan rasionalitas kolektif
insane yakni himpunan pengetahuan manusia tentang alam yang diperoleh sebagai
consensus para pakar. Sedangkan teknologi adalah sebagai himpunan pengetahuan
terapan manusia tentang proses-proses pemanfaatan alam yang diperoleh dari
penerapan sains, dalam kegiatan yang produktif, ekonomis. Sains sebagai ilmu
pengetahuan manusia pada dasarnya meliputi natural scince (ilmu pengetahuan
alam) seperti biologi,
fisika dan kimia. Dan sosial science (ilmu pengetahuan sosial seperti ilmu
sejarah, ekonomi, bahasa dan lain-lain.
Pengetahuan dalam bentuk IPTEK pada
dasarnya berasal dari Allah yang didapat manusia dari alam, akal atau nalar
manusia yang diciptkan oleh Allah SWT. Sesungguhnya materi IPTEK juga terdapat
diluar kurikulum formal misalnya materi yang dapat diakses dari guru dan
sumber-sumber lain seperti buku-buku, majalah dan sumber lainnya. Selain itu
juga terdapat dalam kurikulum suplemen masing-masing mata pelajaran iptek
seperti yang terdapat pada kurikullum suplemen untuk mata pelajaran umum di sma
berupa ayat-ayat al-Quran dan hadits.
Dasar utama konsep IPTEK dalam ajaran
islam, utamanya telah ditunjukkan dalam al-Qur’an, yakni pernyataan akan sifat
pengetahuan yang holistic atau utuh. Dalam konteks ini berarti persoalan
epistemologis dengan ruang lingkup wilayah, bidang-bidang keagamaan maupun
wilayah sekuler, karena pandangan dunia islam tidak mengakui adanya pembedaan
mendasar antara wilayah-wilayah ini dalam kehidupan nyata, maka harus selalu
dikaitkan dengan etika dan spiritualitas. Oleh karena itu, pandangan bahwa ilmu
pengetahuan merupakan prodak yang bersifat universal dan bebas nilai sehinggga
ia dapat dipakai dan berlaku dimana saja dan dilingkungan apa saja dalam kaitan
pemaduan iptek itu, mereka melegitimasi haisl-hasil sains modern dengan
ayt-ayat al-quran yang sesuai dengan teori dalam sains tersebut, yg menurut
merka telah didalam ajaran islam (al-Quran). Adapun dan konsep teori sains
tidak perlu diganggu gugat karena tidak
bertentangan dengan al-qutan. Dalam fungsi ini al-quran hanya sebgai pembenaran
legitimasi atas konsep dan teori-teori sains, atau sekedar menunjukkan bahwa
al-Qur’an telah membicarakan konsep dan teori tersebut.
![]() |
|||||||
![]() |
![]() |
||||||
![]() |
|||||||
Perpaduan
antara Kurikulum MIPA, IPTEK dan pendidikan islam untuk menciptakan kurikulum
modern yang islami, digambarkan pada bagan dibawah ini:
![]() |
![]() |
||||||
|
|||||||
![]() |
|||||||










|
|
|
|
|
|
||||
|
DAFTAR PUSTAKA
Danim, Sudarwan. Agenda
Pembaharuan Sistem Pendidikan. 2006. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
E.Mulyasa. Kurikulum Yang Disempurnakan. 2009. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sabda, Syaifuddin. Model
Kurikululum Terpadu IPTEK dan IMTAQ. 2006. Ciputat:
Ciputat Press
Group
Yamin, Moh. Manajemen
Mutu Kurikulum Pendidikan. 2010. Yogyakarta: Diva Press
No comments:
Post a Comment