Pendekatan Fenomenologis
Peneliti
dalam pandangan fenomenologis berusaha memahami arti peristiwa dan
kaitan-kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi-situasi tertentu.
Sosiologi fenomenologis pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh Edmund Husserl dan
Alfred Schultz. Pengaruh lainnya berasal dari Weber yang memberi tekanan pada
verstehn, yaitu pengertian interpretatif terhadap pemahaman manusia.
Fenomoenologi tidak berasumsi bahwa peneliti mengetahui arti sesuatu bagi
orang-orang yang sedang diteliti oleh mereka.
Inkuiri fenomenologis memulai
dengan diam. Diam merupakan tindakan untuk mengungkap pengertian sesuatu yang
sedang diteliti. Yang ditekankan oleh kaum fenomenologis adalah aspek subjektif
dari perilaku orang. Mereka berusaha untuk masuk kedalam dunia konseptual para
subyek yang ditelitinya sedemikian rupa sehingga mereka mengerti apa dan
bagaiaman suatu pengertian yang dikembangkan oleh mereka di sekitar peristiwa
dalam kehidupannya sehari-hari. Para fenomenolog percaya bahwa pada makhluk hidup
tersedia pelbagai cara untuk menginterpretasikan pengalaman melalui interaksi
dengan orang lain, dan bahwa pengertian pengalaman kitalah yang membentuk
kenyataan.
Ada pelbagai
cabang penelitian kualitatif, namun semua berpendapat sama tentang tujuan penertian
subyek penelitian, yaitu melihatnya dari “sudut pandang mereka”. Jika ditelaah
secara teliti, frase “dari segi pandang mereka” menjadi persoalan. Persoalannya
adalah “dari segi pandang mereka” bukanlah merupakan ekspresi yang digunakan
oleh subyek itu sendiri dan belum tentu mewakili cara mereka berpikir. “Dari
segi pandangan mereka” adalah cara peneliti menggunakannya sebagai pendekatan
dalam pekerjaannya. Jadi, “dari segi pandangan mereka” merupakan konstrak
penelitian. Melihat subyek dari segi ini hasilnya barangkali akan memaksa
subyek tersebut mengalami dunia yang asing baginya.
Sebenarnya
upaya mengganggu dunia subyek oleh peneliti bagaimanapun perlu dalam
penelitian. Jika tidak, peneliti akan membuat tafsiran dan harus mempunyai
kerangka konsep untuk menafsirkannya. Peneliti kualitatif percaya bahwa
mendekati orang dengan tujuan mencoba memahami pandangan mereka dapat
menghalangi pengalaman subyek. Bagi peneliti kualitatif terdapat perbedaan
dalam
(1) Derajat mengatasi masalah
metodologis/konseptual ini
(2) cara mengatasinya.
Sebagian peneliti mencoba melakukan “deskripsi fenomenologis murni”.
Di pihak
lain, peneliti lainnya kurang memperdulikan dan berusaha membentuk abstraksi
dengan jalan menafsirkan data berdasarkan “segi pandangan mereka”. Apapun
posisi seorang peneliti, yang jelas ia harus menyadari persoalan teoretis dan
isu metodologis ini.
Peneliti
kualitatif cenderung berorientasi fenomenologis, namun sebagian besar
diantaranya tidak radikal, tetapi idealis pandangannya. Mereka memberi tekanan
pada segi subjektif, tetapi mereka tidak perlu menoklak kenyataan adanya “di
tempat sana”, artinya mereka tidak perlu mendesak atau bertentangan dengan
pandangan orang yang mampu menolak tindakan itu. Sebagai gambaran diberikan
contoh, misalnya guru mungkin percaya bahwa ia mampu menembus dinding bata,
tetapi untuk mencapainya memerlukan pemikiran. Hakikatnya, batu itu keras
ditembus, namun guru itu tidak perlu merasakan bahwa ia tidak mampu berjalan
menembus dinding itu. Peneliti kulaitatif menekankan berpikir subyektif karena,
sebagai yang mereka lihat, dunia di dominasi oleh subyek yang kurang keras
dbandingkan dengan batu. Manusia kurang lebih sama dengan ‘mesin kecil’ yang
dapat melakukan sesuatu. Kita hidup dalam imajinasi kita, lebih banyak berlatar
simbolik daripada konkret.
Interaksi Simbolik
Interaksi Simbolik
Bersamaan
dengan perspektif fenomenologis, pendekatan ini berasumsi bahwa pengalaman
manusia ditengahi oleh penafsiran. Objek, orang, situasi, dan peristiwa tidak
mempunyai pengertiannya sendiri, sebaliknya pengertian itu diberikan untuk
mereka. Misalnya seorang teknolog pendidikan mungkin menentukan proyektor 16 mm
sebagai alat yang akan digunakan ole guru untuk memperlihatkan film-film yang
relevan dengan tujuan pendidikan; seorang guru barangkali menetapkan
penggunaan proyektor tersebut sebagai alat rekreasi untuk siswa apabila ia
kehabisan bahan pelajaran sewaktu mengajar atau apabila ia sudah letih.
Pengertian yang diberikan orang pada pengalaman dan proses penafsirannya adalah
esensial serta menentukan dan bukan bersifat kebetulan atau bersifat kurang penting
terhadap pengalaman itu.
Untuk memahami perilaku, kita harus mamahami definisi dan
proses pendefinisiannya. Manusia terikat secara aktif dalam menciptakan
dunianya sehingga dengan demikian ia mengerti akan pemisahan antara riwayat
hidup dengan masyarakat yang merupakan sesuatu yang essensial. Manusia tidak
dapat bertindak atas dasar respon yang telah ditentukan terlebih dahulu untuk
mempradefinisikan obyek, tetapi lebih sebagai penafsiran, pendefinisian, “hewan
simbolik” yang perilakunya hanya dapat dipahami dengan jalan peneliti memasuki
proses definisi melalui metode seperti pengamatan-berperan serta. Penafsiran
bukanlah tindakan bebas dan bukan pula ditentukan oleh kekuatan manusia atau
bukan. Orang-orang menafsirkan sesuatu dengan bantuan orang lain seperti
orang-orang pada masa lalu, penulis, keluarga, pemeran di televisi, dan
pribadi-pribadi yang ditemuinya dalam latar temapt mereka bekerja atau bermain,
namun orang lain tidak melakukannya untuk mereka. Melalui interaksi seseorang
membentuk pengertian. Orang dalam situasi tertentu (misalnya mahasiswa dalam
ruang kuliah terrtentu) sering mengembangkan definisi bersama (atau “perspektif
bersama” dalam bahasa interaksi-simbolik) karena mereka secara teratur
berhubungan dan mengalami pengalaman bersama, masalah, dan latar belakang,
tetapi kesepakatan tidak merupakan keharusan. Di pihak lain, sebagian memgang
“definisi bersama” untuk menunjuk pada “kebenaran”, sautu pengertian yang senantiasa
dapat disepakati. Hal itu dapat dipengaruhi oleh orang yang melihat sesuatu
dari sisi yang lain. Bila bertindak atas dasar definisi tertentu, sesuatu
barangkali tidak akan baik bagi seseorang. Biasanya pada seseorang ada masalah,
dan masalah itu dapat membentuk definisi baru, dapat meniadakan yang lama,
dengan kata lain apat berubah. Bagaimana definisi itu berubah atau berkembang
merupakan pokok persoalan yang akan diteliti. Jadi, penafsiran itu esensial.
Interaksi simbolik menjadi paradigma konseptuakl melebihi “dorongan dari
dalam”, “sifat-sifat pribadi”, “motivasi yang tidak disadari”,”kebetulan”,
“status sosial ekonomi”, “kewajiban peranan”, “resep budaya”, “mekanisme
pengawasan masyarakat”, atau lingkungan fisik lainnya. Faktor-faktor tersebut sebagian
adalah konstrak yang digunakan para ilmuwan sosial dalam usahanya untuk
memahami dan menjelaskan perilaku.
Para interaksionis
simbolik tidak menolak kenyataan bahwa konsep teoretik tersebut mungkin
bermanfaat. Namun, hal itu hanya relevan untuk memahami perilaku sepanjang hal
itu memasuki atau berpengaruh terhadap proses pendefinisian. Penganjur teori
ini tidak boleh menolak adanya kenyataan bahwa terdapat adanya dorongan untuk
makan dan bahwa ada efinisi kultural tentang bagaimana, apa, dan bilamana
seseorang harus makan. Bagaimanapun, mereka harus menolak apabila dikatakan
bahwa makan hanya dapat di-pahami dalam kerangka definisi kebudayaan dan
dorongan. Makan dapat dipahami dengan melihatnya pada saling kaitan antara
bagaimana orang mendefinisikan makan dan situasi khusus dimana mereka dapat
memperolehnya. Makan dapat didefinisikan dengan beberapa cara yang berbeda,
yaitu proses dialami secara berbeda, dan orang-orang menampakkan perilaku
berbeda apabila sedang makan dalam situasi yang berbeda. Guru di sekolah
mendefinisikan kapan waktu yang tepat untuk makan, apa yang dimakan, bagaimana
cara makan yang berbeda antara siswa yang satu dengan yang lainnya pada tempat
yang sama. Makan siang bisa berarti istirahat karena bekerja, gangguan yang
menjengkelkan, kesempatan untuk melakukan pekerjaan pokok, waktu untuk diet,
atau kesempatan memperoleh jawaban terhadap pertanyaan ujian. Makan bagi orang
lain misalnya dapat merupakan tonggak dalam perkembangan hidupnya. Makan disini
dinyatakan signifikan dengan jalan menyediakan peristiwa bagi seseorang untuk
dapat mengukur apa yang sudah atau belum tercapai, berapa hari ia masih dapat
bertahan, atau secepatnya seseorang akan terpaksa mengakhiri hari yang
menyenangkan.
Dari gambaran di atas dapat dilihat bahwa makan siang
mempunyai makna simbolik, dan konsep seperti dorongan dan ritual tidak berlaku.
Teori itu tidak menolak bahwa ada aturan dan keteraturan, nilai, dan sistem
nilai dalam masyarakat. Hal itu menjadi penting dalam memahami perilaku hanya
jika orang mempertimbangkannya. Selanjutnya disarankan bahwa bukan aturan,
keteraturan, norma, atau apa saja yang penting untuk memahami perilaku,
melainkan bagaimana hal-hal itu didefinisikan dan digunakan dalam
situasi-situasi khusus. Sekolah menengah mungkin memiliki sistim penilaian,
susunan organisasi, jadwal kelas, kurikulum, dan motto resmi yang menyarankan
tujuan pokok untuk “mendidik keseluruhan pribadi”. Manusia bertindak bukan atas
dasar apa yang diwajibkan oleh sekolah itu atau apa yang seharusnya dari
sekolah itu atau menurut apa yang dikatakan oleh administrator, melainkan atas
dasar bagaimana mereka memandang hal itu. Untuk sebagian, sekolah menengah itu
merupakan tempat untuk bertemu dengan teman-temannya, atau malah tempat untuk
memperoleh derajat yang lebih tinggi bagi sebagian siswa, sekolah merupakan
tempat untuk memperoleh nilai dan mengumpulkan kredit sehingga mereka bisa
lulus. Jadi, terakhir, mereka mendefinisikan tugas sebagai acuan ke perguruan
tinggi atau memperoleh pekerjaan. Mereka mendefinisikan tindakannya walaupun
ada aturan dan sistem kredit yang membawa pengaruh terhadap perilakunya.
Organisasi-organisasi bervariasi dalam hal menyediakan pengertian yang pasti
dan dalam hal bahwa alternatif pengertian tersedia dan
diciptakan.
Bagian lainnya yang penting dari teori interaksi simbolik
ialah konstrak tentang “diri”. Diri itu tidak dilihat sebagai yang berada dalam
individu seperti “aku” atau “kebutuhan yang teratur”, “motivasi”, dan “norma”
seperti “nilai” dari dalam. Diri adalah definisi yang diciptakan orang (melalui
interaksi dengan lainnya) di tempat ia berada. Dalam mengkonstrak atau
mendefinisikan aku, manusia mencoba melihat dirinya sebagai orang lain,
melihatnya dengan jalan menafsirkan tindakan dan isyarat yang diarahkan kepada
mereka dengan jalan menenpatkan dirinya dalam peranan orang lain. Dengan
singkat, kita melihat diri kita sendiri sebagai bagian dari orang lain melihat
kita. Jadi, diri itu juga merupakan konstrak sosial, yaitu hasil persepsi
seseorang terhadap dirinya dan kemudian mengembangkan definisi melalui proses
interaksi. Cara ini memberi kesempatan bagi orang untuk bertumbuh dan berubah
sepanjang mereka lebih banyak belajar tentang dirinya melalui proses interaksi
tersebut. Cara konseptualisasi diri ini telah mengarah pada penelitian tentang
self-fullfiling prophecy dan menyediakan latar belakang tentang apa yang
dinamakan labelling approach terhadap perilaku seseorang.
No comments:
Post a Comment